Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Tetes Tebu Kian Mahal, Produsen MSG Kesulitan

Ekspor tetes tebu memang tumbuh positif selama tiga tahun terakhir, dari 427.000 ton pada 2017 menjadi 643.000 ton pada 2019.
Buruh memanen tebu untuk dikirim ke pabrik gula di Ngawi, Jawa Timur, Selasa (8/8)./ANTARA-Ari Bowo Sucipto
Buruh memanen tebu untuk dikirim ke pabrik gula di Ngawi, Jawa Timur, Selasa (8/8)./ANTARA-Ari Bowo Sucipto

Bisnis.com, JAKARTA -- Produsen monosodium glutamate (MSG) Tanah Air menyuarakan kegelisahan mereka soal operasional di tengah pandemi.

Pasokan bahan baku berupa molases (tetes tebu) yang kian sulit dan ancaman impor dari China pun semakin menghambat usaha.

Direktur Operasional PT Sasa Inti Doddy Santoso Widodo mengemukakan permintaan di dalam negeri melemah selama. Kondisi ini juga diikuti dengan penurunan utilisasi industri sampai 30 persen.

Adapun, kapasitas produksi lima pabrik MSG di Tanah Air mencapai 300.000 ton dengan realisasi produksi pada 2019 sebesar 280.000 ton.

“Permintaan selama pandemi turun dan mengakibatkan utilisasi juga terkoreksi. Persaingan di pasar semakin berat dengan impor MSG asal China yang semakin tinggi karena harga mereka lebih murah,” kata Doddy dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VI DPR RI yang dikutip Rabu (9/9/2020).

Selama Januari-Juli 2020, impor MSG memang tercatat naik signifikan. Jika sepanjang 2019 volume impor hanya 48.313 ton, impor Januari-Juli 2020 justru telah menembus 54.571 ton.

Doddy juga mengemukakan bahwa operasional industri kian diperburuk dengan naiknya harga molases dari yang mulanya Rp2.000 per kilogram (kg) menjadi Rp3.200 per kg. Dia menyebutkan kenaikan ini telah terjadi sejak level pelelangan di pihak pemasok.

“Kami harap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan pengendalian harga tetes tebu,” ujar Doddy.

Sementara itu, Sugiarto selaku wakil dari Persatuan Pabrik Monosodium Glutamate dan Glutamic Acid Indonesia (P2MI) memperkirakan kenaikan harga tetes tebu tak lepas dari tata produk yang tak transparan. Dia juga menduga kenaikan permintaan ekspor molases turut memengaruhi fluktuasi harga.

Ekspor tetes tebu memang tumbuh positif selama tiga tahun terakhir, dari 427.000 ton pada 2017 menjadi 643.000 ton pada 2019. Produksi pada 2019 sendiri mencapai 1,22 juta ton yang berarti ekspor molases menyedot 52 persen dari total pasokan dalam negeri.

“Kami melihat kebijakan tender tidak transparan. Harga sejak awal sudah ditetapkan oleh pemasok, dalam hal ini pemasok terbesar adalah PTPN. Jadi hanya trader dengan modal besar yang berani membeli,” tutur Sugiarto.

Selain membenahi tata niaga tetes tebu demi menjamin industri dalam negeri dapat beroperasi dengan optimal, P2MI pun mengharapkan pemerintah dapat mempertimbangkan opsi pengendalian ekspor. Seiring ekspor yang terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir, pelaku usaha menyebutkan jaminan pasokan bahan baku kian tak menentu.

Ekspor dan impor molases sendiri tidak diatur secara terperinci oleh pemerintah. Sebelumnya, Kementerian Perdagangan hanya pernah mengatur larangan ekspor sementara untuk etanol atau etil alkohol yang juga berbahan baku molases. Aturan larangan itu resmi berakhir pada 30 Juni lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper