Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Obituari: Jakob Oetama, PK Ojong dan Lahirnya Media Zaman Revolusioner

Harian Kompas berdiri di bawah Yayasan Bentara Rakyat.
Salah satu pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama, semasa hidup - Dok./Kompas Gramedia Group
Salah satu pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama, semasa hidup - Dok./Kompas Gramedia Group

Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama meninggal dunia pada Rabu (9/9/2020).

Jenazah mendiang akan disemayamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan, pada Kamis (10/9/2020).

Sepanjang riwayatnya, Jakob merupakan sosok sederhana dan berbuat untuk kemanusian. Ia seorang guru yang suka menulis untuk kemudian membangun salah satu jaringan media terbesar di Indonesia, Kompas, bersama mendiang Petrus Kanisius Ojong (Auwjong Peng Koen).

Dalam buku P.K Ojong, Hidup Sederhana Berpikir Mulia terbitan Kompas, sang penulis, Helen Ishwara menyebutkan Jakob dan P.K Ojong sedang berusaha membangun pemahaman masyarakat dengan membagi informasi dunia melalui majalah Intisari pada 1963. Baru 2 tahun setelahnya, kedua karib ini diminta membantu penerbitan koran harian yang oleh Presiden Soekarno diberi nama Kompas.

"Baik P.K Ojong maupun Jakob Oetama tidak pernah membayangkan bahwa 4 tahun kemudian, koran yang dihasilkan dengan keterbatasan dana itu akan menjadi koran yang tirasnya paling besar di Indonesia," tulis Helen dalam sekapur sirih bukunya.

Perkenalan keduanya seiring keaktifan dalam kepengurusan Sarjana Katolik Indonesia (Iska). Keduanya lekas akrab karena memiliki ketertarikan akan ilmu sejarah dan juga sebagai guru.

Jakob memiliki ijazah B-1 sejarah, sedangkan Auwjong memiliki ketertarikan dengan sejarah. Keduanya juga bekas pemimpin redaksi, Auwjong mantan pemimpin redaksi Star Weekly dan Jakob merupakan Pemimpin Redaksi Penabur.

"Menurut Auwjong, saat itu pembaca Indonesia terkucil karena hampir tidak ada majalah luar negeri yang diperkenankan masuk. Keadaan seperti ini tentu tidak sehat. Apa yang bisa mereka buat untuk meluaskan cakrawala pembaca? Menerbitkan majalah yang menerobos isolasi itu," ulas Helen pada Hal. 174

Disebutkan, majalah ini kemudian dikonsep Auwjong dan Jakob tentang kehidupan nyata, konkret dan bukan tinjauan abstrak. Bukan pula politik yang menjemukan.

Sebagai sumber tulisan, mereka menghubungi kantor kedutaan untuk mendapatkan majalah dari luar negeri. Sedangkan penerbit majalah kemudian diputuskan berbentuk yayasan seperti dianjurkan pemerintah ketimbang perseroan terbatas.

Jakob dan Auwjong kemudian berangkat ke kantor Komando Distrik Militer (Kodam) di Jalan Perwira, Jakarta. Saat itu, posisi Auwjong yang merupakan political outcast setelah Start Weekly ditutup pemerintah, membuat Jakob masuk sendiri mengurus perizinan. Sedangkan sang rekan menunggu di kendaraan. Mereka kemudian menerbitkan Intisari.

Dua tahun setelahnya, tepatnya 28 Juni 1965 kongsi kedua wartawan ini menerbitkan harian Kompas. Seluruh karyawan Intisari juga bekerja untuk Kompas. Harian yang terbit dalam situasi kondisi revolusioner. Yang didengungan di tengah masyarakat kala itu adalah Revolusi belum selesai.

Dalam buku yang sama Helen mengutip Frans Seda, salah seorang pendiri Kompas.

"Proses lahirnya Kompas adalah seperti proses lahirnya setiap usaha yang kreatif. Pada mulanya ada suatu ide. Dan ide itu datangnya dari Jenderal Yani, dan ide itu adalah sebuah usul agar kalangan Katolik mulai dengan satu harian untuk mengimbangi PKI dan rekan-rekannya,"

Ide ini kemudian tenggelam hingga akhirnya mereka bertemu dengan Jakob Oetama dan Auwjong. Dua profesional yang diminta membantu penerbitan koran itu. Untuk payung hukumnya dibentuk Yayasan Bentara Rakyat. Rencananya, media ini akan menggunakan nama yang sama, karena Majalah Bentara sangat populer di Flores.

Yayasan sebagai payung pendirian Kompas terdiri dari I.J Kasimo (Ketua), Frans Seda (Wakil Ketua), F.C Palaunsuka (Penulis 1), Jakob Oetama (Penulis II) dan Auwjong Peng Koen (Bendahara).

Jakob dan Auwjong mendapat otonomi profesional yang penuh sebagai pengasuh sehari-hari koran yang akan lahir itu dari yayasan.

"Ketika semua sudah bisa diatasi, datang suatu persyaratan terakhir untuk dapat terbit [dari pemerintah], yakni harus ada bukti bahwa telah ada langganan sekurang-kurangnya 3.000 orang," tulis Helen mengutip Frans (Hal. 182).

Frans menyebutkan, untuk memastikan nama pelanggan ini, maka diperintahkan mendata semua anggota Partai Katolik, guru sekolah, anggota koperasi kopra di Ende, Sikka dan Flores Timur.

Setelah lengkap, maka para pengurus media ini menghadap Bung Karno untuk melaporkan nama media. Namun oleh Bapak Proklamasi itu, nama Bentara Rakyat yang diusulkan diubah menjadi Kompas.

"Kami berdua sebetulnya enggan menerima permintaan menerbitkan surat kabar Kompas. Lingkungan ekonomi, politik dan infrasstruktur ketika itu tidak menunjang," tulis Jakob (Hal. 183).

Dua profesional ini terus mengendalikan harian Kompas serta jatuh bangunnya. Kendali Grup Kompas kemudian sepenuhnya berpindah ke Jakob, setelah P.K Oejong meninggal pada 31 Mei 1980.

Jakob dalam sambutan sahabat, pada buku yang sama menyebut bahwa pensiun tidak perlu buru-buru. Bekerja saja menurut irama yang sesuai dengan tambahan usia dan perhatian. Ini menjawab keinginan P.K Ojong untuk pensiun dari Kompas dan mulai menulis buku.

Dalam tulisannya, Jakob menyebut mereka berdua mulai kenal pada 1958. Ia masih bekerja pada mingguan Penabur. Sedangkan Auwjong merupakan pimpinan redaksi Star Weekly. Jakob menyebut dirinya datang untuk belajar ke Auwjong.

"Kelak saya baru berkenalan dengan ucapan McLuhan yang membenarkan pendapatnya [Auwjong], yaitu media itu sekadar eksistensi manusia, maka yang menarik adalah soal-soal yang menjadi perhatian masyarakat manusia." katanya (hal. 286).

Tahun 80-an Kompas Gramedia Group mulai berkembang pesat, terutama dalam bidang komunikasi. Saat ini, Kompas Gramedia Group memiliki beberapa anak perusahaan/bisnis unit yang bervariasi dari media massa, toko buku, percetakan, radio, hotel, lembaga pendidikan, event organizer, stasiun TV hingga universitas.

Selain itu, bersama Jusuf Wanandi, Muhammad Chudori, Eric Samola, Fikri Jufri, Goenawan Mohamad, H. G. Rorimpandey dan Harmoko, Jakob Oetama juga ikut mendirikan The Jakarta Post, harian nasional Indonesia berbahasa Inggris.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anggara Pernando
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper