Presiden dan DPR telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (UU 2/2020) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) menjadi undang-undang. Momen ini sekaligus menjadi tonggak sejarah pengenaan pajak atas layanan digital di Indonesia untuk pertama kalinya.
Untuk menjalankan ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 ayat (13) Perppu 1/2020), khususnya yang terkait dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau e-commerce, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 (PMK 48/2020). Pelaksanaan ketentuan-ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020 (PDJP 2/2020).
Norma-norma hukum di atas dapat dikategorikan sebagai hukum pajak substantif, karena mengatur perihal antara lain, objek pajak, saat terutangnya pajak, tarif pajak dan pihak-pihak yang terlibat dalam pemungutan PPN PMSE, terutama pemungut PPN PMSE. Hal-hal yang berkaitan dengan tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN PMSE hanya diatur secara sumir, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan pemeriksaan, upaya hukum, dan penagihan pajak belum diatur.
Layaknya norma hukum substantif, norma-norma di atas memerlukan norma prosedural untuk penegakannya. Oleh karena itu, pemerintah dikabarkan sedang merumuskan beleid yang khusus mengatur aspek administrasi dari pemungutan PPN PMSE (DDTC News, 24 Juli 2020). Kepastian hukum pengaturan aspek administratif pemungutan PPN PMSE diwujudkan melalui referensi silang antara Perppu 1/2020 dan UU No. 6 Tahun 1983 juncto UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Perppu 1/2020 mengatur bahwa pengenaan sanksi administrasi, dan ketentuan-ketentuan mengenai penetapan, penagihan, dan upaya hukum dalam rangka pemungutan PPN PMSE dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada UU KUP. Masalahnya, subjek-subjek pajak yang diatur dalam rezim PPN PMSE tidak dikenal dalam UU KUP, sehingga validitas pemberlakuan ketentuan UU KUP ke dalam rezim PPN PMSE perlu diuji.
Ketiadaan klausa mutatis mutandis pada Pasal 7 Perppu 1/2020 berpotensi menyebabkan pengenaan sanksi administrasi yang diamanatkan oleh ketentuan yang terdapat pada pasal tersebut tidak dapat berlaku, karena UU KUP tidak mengenal subjek pajak pemungut PPN PMSE.
Pasal 1 UU KUP hanya mendefinisikan terminologi wajib pajak (WP), yang relevan dalam pemungutan pajak penghasilan (PPh), dan pengusaha kena pajak (PKP), yang relevan dalam pemungutan PPN. Tidak ada ketentuan yang menyamakan pemungut PPN PMSE dengan WP atau PKP.
Konsekuensinya, sanksi administrasi sebagaimana diatur, antara lain, pada Pasal 7, Pasal 13, dan Pasal 14 UU KUP tidak serta merta dapat dikenakan terhadap pemungut PPN PMSE yang melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaporan, penghitungan, dan penagihan PPN PMSE yang terutang pada penyerahan barang tidak berwujud yang dilakukan olehnya.
Oleh karena itu, ketentuan yang terdapat pada Pasal 7 Perppu 1/2020 perlu diubah dengan menyatakan bahwa ketentuan yang terdapat pada UU KUP berlaku mutatis mutandis bagi pemungut PPN PMSE.
Selain menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pemungut PPN PMSE, pemberlakuan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UU KUP untuk pemungutan PPN PMSE juga berpotensi menimbulkan kesulitan bagi fiskus. Misalnya, dalam konteks pemeriksaan pajak, fiskus akan sulit melakukan pemeriksaan lapangan, mengingat pemungut PPN PMSE tidak berdomisili di Indonesia.
Memang, Pasal 6 ayat (11) Perppu 1/2020 mengatur bahwa pemungut PPN PMSE dapat menunjuk perwakilan yang berdomisili di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN PMSE yang terutang di Indonesia. Namun ketentuan ini tidak imperatif, melainkan fakultatif.
Selain melanggar asas kepastian, pelaksanaan pemeriksaan lapangan terhadap seseorang yang tidak berdomisili di Indonesia berpotensi melanggar asas teritorialitas. Asas ini mengatur bahwa suatu yurisdiksi hanya dapat memungut pajak atas orang-orang yang berdomisili di wilayahnya. Pemeriksaan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan pemungut PPN PMSE menunjukkan adanya pelaksanaan kewenangan ekstrateritorial oleh fiskus.
Demikian pula jika pemeriksaan pajak berujung pada adanya jumlah pajak yang masih harus dibayar, maka upaya ekstrateritorial juga terjadi terhadap penagihan pajak, termasuk penagihan pajak dengan surat paksa.
Sejatinya, asas kepastian dan teritorialitas dalam pemungutan pajak dapat terpenuhi melalui kerangka kerja sama mutual yang tertuang pada Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (CMMATM).
Indonesia telah menandatangani konvensi ini pada 3 November 2011 dan mulai berlaku 1 Mei 2015. Pengesahannya diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 159 Tahun 2014 (Perpres 159/2014). Namun instrumen ini sulit diandalkan untuk menagih PPN PMSE.
Pada lampiran Perpres tersebut, Indonesia ‘menyatakan memiliki hak untuk tidak menyediakan bantuan dalam penagihan berbagai klaim pajak, atau penagihan terkait dengan denda administrasi, untuk segala jenis pajak.’ Artinya, sesuai dengan asas resiproksitas dalam hukum internasional, negara lain dapat pula menolak untuk menyediakan bantuan terhadap Indonesia untuk kegiatan-kegiatan di atas.
Selain itu, Pasal 21(2) huruf f CMMATM mengatur bahwa negara yang diminta tidak wajib untuk memberikan bantuan administratif jika ‘(...) the tax law of the applicant State (…) discriminates against a national of the requested State as compared with a national of the applicant State in the same circumstances.’
Artinya, jika negara domisili dari pemungut PPN PMSE yang diperiksa/ditagih menganggap bahwa perlakuan pajak negara peminta bantuan berlaku secara diskriminatif, negara domisili tersebut dapat menolak permintaan negara peminta bantuan.
Akhirnya, penegakan hukum PPN PMSE hanya dapat berjalan efektif dan sesuai dengan asas kepastian serta teritorialitas jika tingkat kesukarelaan pemungut PPN PMSE tinggi. Secara natural, pelaku usaha PMSE dalam dan luar negeri berbeda, sehingga upaya untuk menciptakan level playing field dalam konteks penegakan hukum PPN PMSE tidak akan tercapai.