Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia mencatatkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) RI sebesar US$408,6 miliar pada kuartal II/2020, meningkat 5,0 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Pertumbuhan pada kuartal II/2020 tersebut tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya yang tercatat sebesar 0,6 persen yoy.
Peningkatan tertinggi dikontribusi oleh ULN swasta yang pada kuartal II/2020 tumbuh 8,2 persen yoy menjadi US$209,3 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 4,7 persen yoy.
Sementara itu, ULN pemerintah tercatat sebesar US$196,5 miliar atau tumbuh 2,1 persen yoy, setelah pada kuartal I/2020 mengalami kontraksi 3,6 persen yoy.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapata peningkatan utang saat ini memang relatif sulit untuk dihindari di tengah situasi pandemi Covid-19, termasuk swasta yang mengalami pengetatan likuditas.
Dia menjelaskan, sebelum adanya pandemi Covid-19, ULN swasta meningkat karena swasta dan pemerintah berebut likuditas untuk pembiayaan masing-masing, juga disebabkan oleh suku bunga kredit yang relatif lebih tinggi di Indonesia.
Di tengah pandemi, kebutuhan belanja pemerintah semakin meningat sementara kemampuan penerimaan pajak ikutan melambat, sehingga kebutuhan pembiayaan bertambah dalam jumlah yang sangat signifikan.
"Perebutan likuditas antara swasta dan pemerintah kembali terjadi, di sisi lain bank juga lebih selektif dalam menyalurkan kredit. Akhirnya swasta memilih meminjam dari luar, sementara utang pemerintah tidak terlepas dari penerbitan surat utang yang gencar untuk kebutuhan belanja di tengah pandemi," katanya kepada Bisnis, Jmuat (14/8/2020).
Menurutnya, kenaikan utang swasta perlu diwaspadai karena 83% ULN swasta dilakukan dalam Dollar Amerika Serikat sehingga risiko volatilitas nilai tukar akan mempengaruhi risiko utang swasta.
Sementara, dia menilai kenaikan utang pemerintah saat seharusnya dikompensasi kenaikan pajak yang lebih besar di kemudian hari.
Namun hal ini akan menjadi dilema bagi pemerintah karena pemberian insentif pajak masih diperlukan untuk mendorong konsumsi rumah tangga.
Yusuf memperirakan rasio utang terhadap PDB ke depan akan terus meningkat, bahkan utang pemerintah terhadap PDB diproyeksi dapat mencapai angka 39 persen.
Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis (IKS) Eric Alexander Sugandi berpendapat rasio ULN terhadap PDB yang meningkat menunjukkan adanya penurunan kemampuan membayar ULN.
"Ini wajar karena ekononomi Indonesia sedang terkontraksi dan pemerintah menambah utang untuk stimulus fiskal," katanya.
Menurut Eric, rasio tersebut mash dalam level yang aman, namun tetap harus diwaspadai. Pemerintah menurutnya harus memperketat ULN sehingga tidak naik terlalu cepat pascapandemi Covid-19.
"Dalam kondisi normal idealnya jangan sampai rasio ini naik terlalu tajam. Tapi saat ini memang sedang kondisi resesi atau menuju resesi, jadi kenaikan rasio ini sulit dihindari," jelasnya.