Pak Boediono dan Booming Migas
Bisnis.com, JAKARTA - Dalam sejarah ekonomi Indonesia, belum ada yang bisa menyamai capaian ekonomi Orde Baru, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonominya melampaui 7 persen.
Meskipun, pertumbuhan itu juga semu karena lebih dominan disebabkan oleh booming minyak dan gas pada medio 1970-an hingga awal 1980an.
Wakil Presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono memiliki kisah menarik mengenai hal ini. Pada peretengahan tahun 2019 ekonom senior yang pernah menjabat sejumlah posisi strategis di pemerintahan itu menyebut booming komoditas sebagai berkah sekaligus musibah.
Sebelum tahun 1983, tutur Boediono, komoditas minyak bumi dan gas alam migas benar-benar disanjung. Selain jadi komoditas ekspor andalan, migas juga menjadi urat nadi bagi pengelolaan fiskal saat itu. Potensi penerimaan dari sektor non migas nyaris tak tergarap secara optimal.
Apalagi selama kurun waktu 1945 – 1983, terutama terjadi pada dekade 1970-an, Indonesia sangat ‘dininabobokan’ dengan booming migas. Besarnya ekspor migas, tanpa banyak daya dan upaya, pendapatan dari minyak bumi mengucur deras ke kantong pemerintah.
“Penerimaan migas luar biasa, tanpa keringat,” kata Boediono.
Wakil Presiden periode 2009-2014 Boediono. - ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Surplus penerimaan migas, membuat kantong pemerintah tebal. Pembangunan berjalan cukup masif. Listrik dan jalan beraspal mulai masuk ke berbagai pelosok negeri.
Ricklefs, seorang Indonesianis dalam A History of Modern Indonesia Since 1200 menulis, berkah migas selain menyokong perekonomian, juga menjadi penentu stabilitas politik di era keemasan Orde Baru.
Sebagai hasilnya, dari tahun 1971 – 1981 tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bisa tembus di angka 7,7 persen dan tidak pernah di bawah 5 persen. Bahkan pada 1981, Indonesia juga tercatat sebagai penghasil gas alam cair terbesar (LNG) di dunia.
Tak heran, dalam dokumen APBN 1981/1982, target penerimaan minyak bersih termasuk LNG berada di angka US$11,3 miliar atau naik 22,6 persen, dibandingkan proyeksi penerimaan pada 1980/1981 senilai US$9,2 miliar. Asumsi itu disusun dengan dasar tren kenaikan harga minyak terus berlanjut.
Namun rupanya situasi segera berubah. Proyeksi pemerintah meleset. Resesi global yang dikuti oleh anjloknya harga minyak menghempas. Kondisi ekonomi Indonesia ke titik yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Kinerja ekspor mulai mengendur. Ekspor minyak maupun bukan minyak 1982/1983 anjlok dan hanya mencapai US$20,04 miliar atau turun 15,1 persen. Khusus minyak realisasi ekspornya hanya US$16,12 miliar atau turun hampir US$3,3 miliar.
Bank Dunia kemudian mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1982 hanya 2,2 persen. Bulan madu dengan komoditas migas pun telah usai.
”Kita kena shock karena harga anjlok, APBN kena dan masalah, neraca pembayaran kena masalah karena menggantungkan pada migas,” tukas Boediono.