Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha sektor pertekstilan nasional mendesak pemerintah agar mengusut tuntas kasus importasi tekstil menyusul temuan impor nonprosedural melalui Batam beberapa waktu lalu.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi menyatakan bahwa aksi impor tersebut telah menyebabkan pasar domestik dibanjiri produk murah yang lantas menekan kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.
Dia bahkan menyebutkan bahwa tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar dan melakukan aksi pemutusan hubungan kerja pada karyawan dalam 5 tahun terakhir.
"Perbedaan harganya bisa sampai 50 persen karena importasi yang dilakukan mafia ini tidak membayar bea masuk dan pajak dengan benar, padahal harga asal negaranya saja sudah dumping,” kata Rusdi melalui siaran pers, Selasa (11/8/2020).
Ikatsi, menurutnya, telah meminta agar Kejaksaan Agung membersihkan oknum-oknum terkait mafia impor di beberapa kementerian.
Suharno menuturkan bahwa pelaku importasi nonprosedural juga melakukan lobi kebijakan untuk melegalkan praktiknya melalui peraturan.
Baca Juga
“Kami memang melihat ada praktik underinvoice, transshipment, hingga rembesan barang dari wilayah berikat, tapi jangan lupa juga bagaimana mafia ini melakukan lobi kebijakan untuk melegalkan praktiknya melalui peraturan," ujarnya.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil menyatakan bahwa pelanggaran prosedur kepabeanan dalam kasus importasi tekstil sudah berlangsung lama.
Menurut dia, sebelumnya pelanggar menggunakan modus impor borongan dan penyalahgunaan angka pengenal importir produsen (API-P). Pelanggar pun beralih ke pusat logistik berikat (PLB) kala Satgas Penertiban Impor Berisiko Tinggi (PIBT) dibentuk pada 2017.
"Sekarang tekstil ditutup lari ke impor borongan lagi," kata Rizal.