Bisnis.com, JAKARTA – Wacana meniadakan rapid test sebagai syarat bepergian menggunakan pesawat bisa dilakukan selama pemerintah, operator bandara, dan maskapai penerbangan bisa ketat dalam menerapkan semua protokol kesehatan.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko menjelaskan, kondisi ekonomi yang sangat tertekan terutama sektor transportasi mendorong stakeholder memunculkan ragam opsi untuk melonggarkan aktivitas ini.
Salah satunya dengan meniadakan rapid test untuk mendeteksi Virus Corona sebagai prasyarat keberangkatan.
“Sebenarnya kalau rapid test mau ditiadakan, tak masalah, masih bisa mengandalkan pengecekan suhu dan saturasi oksigen saat penerbangan. Bagus kalau juga diganti dengan tes yang lebih akurat yaitu PCR,” ujar Tri Yunis Miko kepada Bisnis saat dihubungi, Sabtu (8/8/2020).
Dia memerinci, rapid test punya masa inkubasi yang terlalu lama untuk mencapai hasil yang tepat. Akurasi dari hasil rapid test bisa muncul dua pekan kemudian, meski proses pengecekan relatif sangat singkat.
Proses pengecekan tak lebih dari 1 jam dengan hasil yang dikeluarkan hanya perlu menunggu sekitar 2-3 jam.
Sebaliknya, PCR justru tes yang jauh lebih akurat, meski durasi menunggu hasil tes lebih lama dari rapid test yaitu sekitar 2 sampai 3 hari. Padahal, selama bepergian kondisi kesehatan wajib diperhatikan karena potensi infeksi masih tetap ada saat ini.
“Sektor penerbangan saat ini sudah mau kolaps, jadi kalau rapid test taka man pengecekan suhu, saturasi oksigen, memakai masker dan faceshield itu wajib. Termasuk protokol dasar mencuci tangan dan menjaga jarak aman. Kalau semua taat, potensi terinfeksi jadi lebih kecil,” jelasnya.
Salah satu opsi yang tersedia jika ingin mengganti rapid test sebagai syarat keberangkatan, Tri Yunis menyatakan pemerintah bisa mengaptasi metode tes yang sedang dikembangan di Inggris saat ini.
Tes itu adalah tes Covid-19 menggunakan mesin tes DNA yang bisa menemukan hasil infeksi Covid-19 dalam waktu 90 menit.
Metode ini dikembangkan oleh perusahaan DnaNudge yang berhasil memproduksi 5000 alat tes sesuai pesanan dengan harga US$211 juta.
“Kalau pun misal pemerintah mau menggantikan rapid test dengan test ini, atau PCR, silakan saja. Toh sebenarnya baik rapid tes da PCR kita tak semua alatnya bisa diproduksi di Indonesia, yang alat baru dari Inggris ini juga tentunya menunggu kedatangan dari Inggris,” tambahnya.