Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik RI mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II/2020 mengalami kontraksi hingga -5,32 persen.
Kepala BPS RI Suhariyanto mengatakan kontraksi ini merupakan kontraksi terdalam sejak krisis ekonomi dua dekade atau tepatnya kuartal I/1999.
"Perekonomian Indonesia pada kuartal II/2020 [yoy] mengalami kontraksi 5,32 persen. Dibandingkan kuartal sebelumnya [qtq] kontraksi 4,19 persen," katanya saat konferensi pers virtual, Rabu (5/8/2020).
Berdasarkan Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, PDB Indonesia pada kuartal II/1998 lebih parah dari realisasis saat ini, yaitu -12,3 persen. Adapun, kontraksi terdalam terjadi pada kuartal III/1998 yaitu sebesar -13,7 persen.
Suhariyanto mengungkapkan data indikator ekonomi yang membuat pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal II/2020 mengalami tekanan cukup dalam di seluruh sektor. Jika mengacu pada komponen pengeluaran, BPS mencermati penurunan pada konsumsi rumah tangga, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi, ekspor, impor, dan pengeluaran pemerintah.
Lantas, bagaimana perbandingkan indikator makro ekonomi Indonesia saat krisis moneter 1998 dan krisis akibat pandemi virus Corona (Covid-19)?
Baca Juga
Berikut perbandingkan indikator makro ekonomi Indonesia saat ini dengan kondisi krisis moneter 1998 yang dikompilasi Bisnis.
1. Konsumsi Rumah Tangga
Komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PK-RT) yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia, tumbuh negatif atau mengalami kontraksi dalam hingga 5,51 persen. Suhariyanto mengatakan hampir seluruh komponen konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi, kecuali komponen perumahan dan perlengkapan rumah tangga dan kesehatan dan pendidikan.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga pada saat krisis moneter menghantam Indonesia, tepatnya kuartal II/1998, masih berada di level positif 4,8 persen. Komponen konsumsi rumah tangga anjlok sangat dalam pada kuartal III/1998, yaitu -13,7 persen. Bank Indonesia mencatat turunnya konsumsi disebabkan oleh melemahnya daya beli dan memburuknya keyakinan konsumen akan prospek pendapatan kala itu.
2. PMTB/Investasi
BPS RI mencatat komponen PMTB tumbuh negatif hingga -6,9 persen pada kuartal II/2020 (yoy). Adapun, realisasi penanaman modal yang tercatat di BKPM (PMA dan PMDN) selama kuartal II/2020 sebesar Rp191,9 triliun, atau turun sebesar 8,9 persen (qtq) dan turun 4,3 persen (yoy).
Di sisi lain, indikator PMTB pada kuartal II/1998 anjlok ke level terendah, yaitu -41,4 persen. Menurut Laporan Bank Indonesia, penurunan kegiatan investasi berkaitan dengan semakin memburuknya ketidakseimbangan
neraca dunia usaha, memburuknya kondisi perbankan, dan rendahnya kepercayaan investor luar negeri akibat krisis multi dimensi yang terjadi kala itu.
3. Ekspor-Impor
Suhariyanto menungkapkan komponen pengeluaran ekspor barang dan jasa pada kuartal II/2020 mengalami kontraksi hingga -7,76 persen (yoy). Realisasi tersebut berbeda 180 derajat dengan periode yang sama 2019, dimana Indonesia mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 15,29 persen (yoy). Lebih lanjut, angka impor pada kuartal II/2020 turun drastis hingga -16,9 persen (yoy) akibat pandemi Covid-19.
Sementara itu, indikator ekspor barang dan jasa saat krisis moneter atau pada kuartal II/2020 masih tercatat positif 14,6 persen. Ekspor RI baru terimbas pada kuartal IV/1998 lantaran anjlok hingga -32,5 persen (yoy). Adapun, impor pada kuartal II/2020 tumbuh tipis 1,8 persen.
4. Pengeluaran Pemerintah
BPS memaparkan komponen pengeluaran dari konsumsi pemerintah tumbuh negatif hingga -6,9 persen pada kuartal II/2020. Suhariyanto mengungkapkan terjadi penurunan realisasi belanja barang dan jasa serta pegawai dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Kontraksi realisasi belanja pegawai terutama karena perubahan kebijakan pemberian THR pada tahun ini sebagai bentuk efisiensi selama pandemi Covid-19.
Sayangnya, Bank Indonesia tidak melaporkan komponen konsumsi atau belanja pemerintah pada Laporan Tahunan BI 1998/1999. Syahril Sabiri, Gubernur BI kala itu mengatakan selama periode laporan masih terdapat kelemahan dan kekurangan dalam penetapan dan pelaksanaan berbagai kebijakan. Hal ini terjadi, antara lain karena kompleksitas masalah yang dihadapi pemerintah dan BI saat itu.