Bisnis.com, JAKARTA- Penyelesaian RUU Cipta Kerja diyakini pelaku usaha dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Aturan tersebut dinilai bisa mengurai berbagai kendala investasi yang kerap mempersulit realisasi.
“Kalau pembahasan RUU ini berlanjut dan hasilnya dipandang kondusif tentu akan menjadi daya tarik dan memberi keyakinan bagi investor,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani kala dihubungi, Rabu (22/7/2020).
Dampak utama kepastian hukum dalam RUU Cipta Kerja sendiri disebut Hariyadi bakal dirasakan oleh sektor padat karya, terutama pada usaha berskala mikro dan kecil menengah yang tidak akan terikat pada regulasi upah minimum.
“Jika sektor UMKM dilepaskan dari regulasi upah minimum, itu akan menampung pekerja. Penyerapannya akan lebih baik. Jika dilepas dari regulasi ini nanti yang berjalan supply and demand,” lanjut Hariyadi.
Kendati demikian, dia tak memungkiri bahwa geliat investasi di dalam negeri bakal tergantung pula pada tingkat konsumsi di masyarakat. Kondisi permintaan pasar sendiri disebut Hariyadi bakal amat tergantung pada penanggulangan pandemi.
Dengan demikian, dia menyarankan agar upaya pemulihan ekonomi dapat dilakukan sejalan dengan pembenahan sektor kesehatan.
Baca Juga
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengemukakan bahwa penurunan realisasi investasi pada kuartal II/2020 merupakan hal yang wajar di tengah pandemi yang tak mendukung aksi ekspansi bisnis. Dia pun mengemukakan bahwa penurunan realisasi investasi pada periode ini cenderung rendah.
Guna menarik lebih banyak investasi pada masa mendatang, Shinta pun menyatakan bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja bakal menjadi cara tercepat, terutama dalam mengurai tumpang tindih aturan yang kerap menjadi batu sandungan investasi.
“Ketidakpastian atas proyeksi biaya investasi kunci seperti tanah dan biaya tenaga kerja hampir semuanya bisa diminimalisir atau diselesaikan melalui RUU Ciptaker. Pengesahan harus dilakukan secepatnya, apalagi jika targetnya adalah untuk menarik relokasi industri dari China,” papar Shinta.
Dia mengatakan relokasi industri dari Negeri Panda sejatinya telah mulai terjadi sejak awal tahun lalu sebagai imbas dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Shinta menilai Indonesia cenderung terlambat melihat peluang jika dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand dan Vietnam yang lebih sigap.
“Mereka telah lebih dulu melakukan perbaikan iklim usaha dan investasi di negaranya sehingga mereka lebih dilihat basis produksi alternatif China di Asean dibandingkan Indonesia,” katanya.
Pengesahan RUU Cipta Kerja pun dinilai perlu guna mengakomodasi masuknya aliran dana mengingat pelaku usaha di dalam negeri cenderung kesulitan mencari dana untuk mempertahankan bisnis usai krisis Covid-19.
Kemampuan permodalan dengan mengandalkan dana di dalam negeri pun disebut Shinta terbatas di tengah kebutuhan investasi yang kemungkinan melonjak.
Lebih lanjut, Shinta menyebutkan bahwa semua sektor masih memiliki peluang untuk diperbesar kapasitasnya. Meski demikian, dia menekankan bahwa kebutuhan utama Indonesia ke depannya bakal terletak pada industri padat karya seperti manufaktur hulu untuk pemrosesan bahan baku.
Dengan demikian, produk yang dihasilkan di dalam negeri dapat memiliki nilai tambah dan masuk dalam rantai pasok global.
“Selain itu, kita masih perlu investasi di infrastruktur kesehatan dan teknologi informasi karena kebutuhannya pasca Covid-19 akan terus meningkat di seluruh Indonesia,” pungkas Shinta.