Bisnis.com, JAKARTA – Wacana regulasi kewajiban pasar lokal (domestic market obligation/DMO) pada minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk kebutuhan energi dinilai dapat menimbulkan masalah baru jika dilakukan dalam waktu dekat.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai salah satu potensi masalah baru tersebut adalah dirugikannya salah satu pihak karena selisih harga antara harga DMO dan harga pasar.
Pasalnya, saat ini belum ada regulasi yang memungkinkan pabrikan kelapa sawit maupun PT Pertamina (Persero) untuk memanfaatkan dana pungutan di Badan Pengelola Dana Pungutan Kelapa Sawit (BPDP-KS).
"Bicara fixed quota itu jangan hanya kuota harga, karena harga ini mekanisme [pasar] komoditas. Ada [hukum] supply and demand. Kalau ada [harga] yang dikunci, pada sisi yang lain ada yang dalam tanda petik berkorban," kata Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Lakshmi Sidarta kepada Bisnis, Senin (20/7/2020).
Saat ini, penggunaan dana BPDP-KS akan dimasukkan sebagai dana anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) jika DMO diterapkan dalam waktu dekat. Pasalnya, dana pungutan yang dikelola digunakan atas rekomendasi delapan kementerian.
Adapun, kementerian tersebut adalah Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian PPN, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Baca Juga
Kanya menjelaskan pencatatan penggunaan dana APBN dapat menimbulkan masalah politis dan memakan waktu yang berlarut-larut. Alhasil, dierlukan regulasi baru yang dapat menyederhanakan dan menghindarkan politisasi penggunaan dana BPDP-KS untuk keperluan DMO.
Saat ini, pemangku kepentingan sedang menggodok regulasi yang memungkinkan parikan kelapa sawit maupun Pertamina dapat mengakses dana BPDP-KS jika ada selisih antara harga DMO dan harga pasar komoditas.
Dengan demikian, dana untuk menutupi selisih tersebut tidak tercatat diambil dari sebagai dana APBN, namun dana kelolaan BPDP-KS.
Di sisi lain, Kanya menilai aturan DMO tersebut dapat membantu menyerap volume CPO saat ini. Seperti diketahui, serapan CPO dalam pasar global maupun lokal saat ini menurun karena pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Gapki, konsumsi CPO di dalam negeri selama Januari-Mei 2020 naik 3,6 persen secara tahunan menjadi 7,3 juta ton, tapi volume ekspir anjlok 13,7 persen menjadi 12,7 juta ton. Adapun, alokasi produksi industri kelapa sawit nasional ke pasar global mendominasi sekitar 62,5 persen dari total produksi per tahunnya.
Penurunan ekspor terutama terjadi pada refined palm oil yang secara umum disebabkan oleh selisih harga minyak sawit dengan minyak kedelai yang kecil.
Penurunan ekspor bulan Mei terbesar terjadi dengan tujuan China sebesar 87.700 ton (-21 persen), ke Uni Eropa sebesar 81.500 ton (-16,62 persen), ke Pakistan sebesar 47.000 ton (-23,4 persen) dan ke India sebesar 38.600 ton (-9,2 persen).
Kanya menduga penurunan ekspor ke Negeri Tirai Bambu disebabkan meningkatnya produksi crushing oilseed yang cukup besar sehingga pasokan minyak nabati China tinggi.
Namun demikian, pihaknya optimistis permintaan minyak nabati China akan meningkat pada paruh kedua 2020 dengan pulihnya roda perekonomian Negeri Panda.