Bisnis.com, JAKARTA - Neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2020 diperkirakan akan melanjutkan tren surplus karena kinerja impor dan ekspor yang diperkirakan masih tertekan.
Tren surplus dalam neraca perdagangan akibat lemahnya impor ini membuka peluang besar bagi penurunan defisit transaksi berjalan pada akhir tahun ini.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memprediksi ekspor dan impor Juni 2020 akan mengalami kontraksi, masing-masingnya -5,60 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dan -13,6 persen yoy.
Menurutnya, perkiraan kontraksi tahunan tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan kontraksi bulan sebelumnya.
Secara bulanan, baik ekspor maupun impor Juni 2020 diperkirakan akan tumbuh masing-masing 6,5 persen dan 17,7 persen. Peningkatan ini didorong oleh pelonggaran sosial berskala besar di beberapa negara, termasuk Indonesia sendiri.
"Peningkatan ekspor bulanan juga disebabkan oleh harga CPO yang lebih tinggi, peningkatan PMI manufaktur di negara-negara tujuan ekspor utama seperti China dan Amerika Serikat, dan penguatan Baltic Dry Index.
Baca Juga
Sementara, peningkatan impor bulanan terutama disebabkan oleh membaiknya PMI manufaktur Indonesia, harga minyak yang lebih tinggi, dan kenaikan biaya input di tengah harga bahan baku yang lebih besar dan nilai tukar Rupiah yang lebih lemah.
"Neraca perdagangan akan kembali mencatat surplus besar. Kami memperkirakan neraca perdagangan Juni 2020 mencatat surplus US$1,20 miliar. Ini membuat neraca perdagangan Januari - Juni 2020 surplus US$5,44 miliar," katanya, Selasa (14/7/2020).
Andry memproyeksikan kinerja impor ke depan masih akan lebih lambat dibandingkan ekspor karena penghentian kegiatan investasi dan produksi di tengah pandemi Covid-19.
Dengan demikian, menurut Andry, hal ini dapat menyebabkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) menyusut tahun ini.
"Kami memperkirakan CAD tahun 2020 lebih rendah atau sekitar -1,81 persen dari PDB," jelasnya.