Bisnis.com, JAKARTA -- Revisi aturan pelaksana Program Kartu Prakerja dinilai masih belum mampu menjadi stimulus yang cukup dalam mengakselerasi penyerapan tenaga kerja di tengah pandemi Covid-19.
Sekretaris Jenderal OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia), Timboel Siregar mengatakan bahwa Peraturan Presiden Nomor 76 tahun 2020 tentang Perubahan atas Perpres 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja masih memiliki potensi konflik dan polemik di masyarakat.
“Di situ [perpres] disebutkan bahwa semua yang ter-PHK dan pencari kerja berhak dan sebagainya, tetapi di Covid-19 ini seharusnya fokus membantu untuk pekerja yang terkena PHK dulu, seperti bantuan sosial,” ungkapnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (10/7/2020).
Sebagai gambaran, pada pasal 3 ayat 3 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 tahun 2020 menyebutkan bahwa buruh atau pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi kerja adalah mereka yang dirumahkan dan pekerja bukan penerima upah, termasuk pelaku usaha mikro dan kecil.
“Artinya, orang yang kena PHK ini, nantinya akan berebutan [dengan tenaga kerja baru] untuk menjadi peserta, poin ini juga yang menurut saya tidak terlalu tegas di masa Covid-19 ini. Revisi kartu prakerja ini di masa depan itu bisa menyesuaikan dengan perpres yang baru, tetapi paling tidak di masa sekarang ini diprioritaskan dulu kepada yang kena PHK,” ungkapnya.
Timboel mengungkapkan bahwa fokus yang efektif untuk disasar pemerintah dalam penyerapan tenaga kerja adalah dengan proaktif untuk menghubungi perusahaan agar menyerap tenaga kerja yang telah di PHK dan memberikan stimulus kepada perusahaan dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), seperti pinjaman lunak.
“Seperti yang disampaikan oleh Bu Ida [Menteri Ketenagakerjaan], saya lihat ini target pemerintah yang disampaikan olehnya [penyerapan 850.000 tenaga kerja] harus didukung oleh stimulus ekonomi oleh negara, sehingga bisa membuka lagi lapangan kerja dan PHK bisa terserap. Kembali ke Kartu Prakerja, menurut saya dalam kondisi saat ini perpres ini belum menjawab kepada kebutuhan masyarakat yang kena PHK itu bisa tertolong,” ujarnya.
Dia berharap pada semester II/2020 pemerintah lebih aktif untuk fokus pada masyarakat yang terkena PHK dan para tenaga kerja baru untuk meningkatkan kemampuan softskill-nya, sesuai dengan bidang yang dibutuhkan.
“Menurut saya, di enam bulan terakhir 2020 ini atau semester II/2020, [Kartu] Prakerja bisa lebih dimasifkan agar membekali pekerja bisa masuk ke lapangan kerja. Kemudian, pelaksanaan di lapangan lebih dimungkinkan orang yang ter-PHK mendapatkan akses lebih gampang dan didahulukan,” ungkapnya.
Adapun mengenai normalisasi serapan tenaga pada 2022—2023, dia mengatakan bahwa ada harapan bahwa penyerapan dapat kembali normal, tetapi pemerintah khususnya Menteri Perekonomian perlu untuk membuat peraturan menteri yang menindak lanjuti revisi perpres Kartu Prakerja ini.
“Perpres itu juga harus ditindaklanjuti dengan permen [peraturan menteri] ini sudah kelamaa. Kita harapkan permen segera keluar, karena harus dibuka lagi Kartu Prakerja dengan cepat karena orang ter-PHK sudah banyak sehingga mereka pun sulit mendapat bantuan,” tuturnya.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya pun melihat bahwa Program Kartu Prakerja belum bisa memberikan jawaban untuk penyerapan tenaga kerja di tahun ini ataupun pemulihan di tahun mendatang
“Dari berbagai proyeksi lembaga besar luar negeri, ekonomi indonesia 2020 paling bagus nol persen. Kartu Prakerja terlalu jauh bicara ke 2022, fokusnya perlu ke melatih pekerja di sektor [tertentu] sehingga mereka bisa punya cukup skill untuk bekerja di sektor yang masih bisa beroperasi dengan social distance,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo merevisi aturan pelaksana Program Kartu Prakerja. Revisi tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 76 tahun 2020 tentang Perubahan atas Perpres 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja.