Bisnis.com, JAKARTA - Minimnya edukasi tenaga kesehatan maupun Kementerian Kesehatan mengenai produk tekstil membuat indusri masker medis nasional saat ini dipenuhi oleh produk impor. Maka dari itu, dibukanya jalur ekspor dinilai menjadi langkah yang kritis.
Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat ada lonjakan impor pada produk-produk yang tercantum pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 23/2020 tentang Larangan Sementara Ekspor Antiseptik, Bahan Baku Masker, Alat Pelindung Diri, dan Masker. Adapun, lonjakan impor tersebut terjadi pada produk masker dan alat pelindung diri.
Pada April 2020, impor pakaian pelindung medis naik paling tinggi secara bulanan atau lebih dari 45 kali lipat menjadi 166,1 ton. Adapun, impor pakaian bedah melonjak 813,74 persen menjadi 12,2 ton.
Sementara itu, impor pakaian pelindung medis selama Januari-April 2020 naik lebih dari 19 kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu menjadi 167 ton. Adapun, impor pakaian bedah naik 89,72 persen secara tahunan menjadi 14,8 ton.
Jika satu unit pakaian pelindung medis dan pakaian bedah diasumsikan memiliki berat 250 gram, impor tersebut sudah memnuhi permintaan pakaian pelindung medis dan pakaian bedah nasional pada April maisng-masing sebesar 62,34 persen dan 12,24 persen.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendata permintaan pakaian pelindung medis dan pakaian bedah selama delapan bulan terakhir 2020. Data tersebut menujukkan bahwa permintaan pakaian pelindung medis per bulan mencapai 1,06 juta unit, sedangkan pakaian bedah sebesar 401.622 unit.
Baca Juga
Kemenperin mencatat pabrikan garmen lokal telah meningkatkan kapasitas produksi kedua jenis pakaian tersebut sejak April 2020. Adapun, 72 pabrikan pakaian pelindung medis kini memiliki kapasitas produksi sebesar 45,6 juta unit per bulan, sementara itu 16 pabrikan pakaian bedah kini memiliki kapasitas produksi hingga 2,05 juta unit per bulan.
Di sisi lain, impor masker bedah per April 2020 meroket sekitar 12 kali lipat secara bulanan menjadi 392,7 ton. Secara tren, impor masker bedah selama Januari-April 2020 melonjak 489.28 persen dari periode yang sama tahun lalu menjadi 495,2 ton.
Impor masker nonwoven selain masker bedah naik 387.11 persen secara bulanan menjadi 541,2 ton. Adapun, selama Januari-April 2020 volume impor masker tersebut naik 67,1 persen menjadi 1.034 ton.
Jika sebuah masker memiliki berat 10 gram, impor masker bedah dan masker nonwoven lainnya mencapai 39,2 juta unit dan 54,1 juta unit per April 2020. Adapun, volume impor tersebut dapat memnuhi permintaan masker medis nasional setidaknya selama April-Agustus.
Berdasarkan catatan Kemenperin, produsen dalam negeri mampu memproduksi dua jenis masker bedah, yakni masker N95 dan masker bedah umum. Volume produksi kedua jenis masker tersebut masing-masing diproyaksikan sebesar 2,2 juta unit dan 2,08 miliar unit.
Jika melihat permintaan kedua jenis masker tersebut selama April-Desember 2020, pabrikan lokal masih belum dapat memenuhi permintaan masker N95 sejumlah 5,3 juta unit. Sementara itu, produksi masker bedah umum oversupply hingga 1,95 miliar unit.
Secara sederhana, kemampuan industri pakaian dan masker medis nasional telah mencukupi permintaan nasional sejak April 2020, kecuali masker N95. Namun demikian, volume impor masker dan pakaian medis pada bulan yang sama melonjak baik secara bulanan maupun secara tahunan.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh menduga hal tersebut disebabkan rendahnya edukasi tenaga medis mengenai jenis kain. Pasalnya, masker dan pakaian medis yang diproduksi di dalam negeri menggunakan kain woven polyester, sedangkan produk impor memiliki kain nonwoven spundbond polypropilene.
"Menurut Kemenkes [Kementerian Kesehatan] bahwa yang diinginkan user adalah yang ringan dan nyaman dipakai adalah [yang berbahan] nonwoven," katanya kepada Bisnis, Selasa (23/6/2020).
Elis berujar bahwa kain woven polyester yang telah dikembangkan oleh pabrikan lokal memiliki karakteristik yang lebih nyaman. Pasalnya, menurutnya, kain tersebut memiliki sirkulasi udara yang lebih baik, ringan, menyerap keringat, dan memiliki karakteristik antibakteri dan antivirus pada saat yang bersamaan.
Di samping itu, menurutnya, masker dan kain berbahan nonwoven memiliki tantangan tambahan yakni pengelolaan limbah yang lebih banyak. Pasalnya, masker dan pakaian medis nonwoven umumnya hanya bisa dipakai satu kali.
Sementara itu, masker dan pakaian medis berbahan woven dapat didaur ulang kembali menjadi benang dan diproduksi kembali. "Kalau [masker maupun apd medis] nonwoven lebih mudah sobek dan [pengelolaan] limbahnya lebih sulit. Nanti [dikhawatirkan] limbahnya bermasalah]."
Elis menyatakan pihaknya akan terus mengamati pertumbuhan volume impor masker dan paiakan medis di dalam negeri. Menurutnya, jika pihaknya menemukan lonjakan impor selama 3 bulan ke depan, pihaknya akan mengembalikan aturan bea masuk maupun impor lainnya terkait kedua produk tersebut seperti semula.
Di samping itu, Elis menyampaikan hampir seluruh pabrikan produsen masker dan pakaian medis lokal telah memiliki ISO 16604:2004. Adapun, komponen penting untuk mendapatkan sertivikasi tersebut adalah terpenetrasi atau tidaknya sebuah pakaian dari penetrasi virus pada tekanan hidrostatik yang spesifik.
Seperti diketahui, industri tekstil dan produk tekstil secara umum memiliki integrasi antara industri hulu dan hilir yang lengkap. Namun demikian, Elis mencatat volume impor serat polyester maupun polipropilene untuk memproduksi masker dan pakaian medis di dalam negeri masih tinggi.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh minimnya produsen yang mengubah cip polipropilene maupun polyester menjadi serat masih minim. "Jadi, memang kita punya banyak polypropilene dan polyester, tapi cuma beberapa perusahaan yang produksi [seratnya] karena mesin meltbond-nya belum banyak."