Bisnis.com, JAKARTA - Benny Tjokrosaputro alias Bentjok seketika meradang karena merasa dizalimi dan diperlakukan tidak adil penegak hukum. Menurut Bentjok, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak transparan dan terkesan pilih-pilih.
Dia secara spesifik menuduh lembaga auditor negara ini melindungi Grup Bakrie, yang merupakan milik politisi dan konglomerat Abu Rizal Bakrie.
"Jiwasraya banyak membeli bertransaksi saham-saham Grup Bakrie, terutama sebelum 2008, kenapa mereka tidak disidik?," keluh Bentjok dalam surat yang beredar luas, Selasa (30/6/2020).
Dalam pikiran cucu pendiri Batik Keris ini, jumlah kepemilikan saham Jiwasraya di Grup Bakrie jauh lebih besar dibandingkan perusahaan yang dikendalikannya. Artinya, jika mengikuti logika penegakan hukum, seharusnya Grup Bakrie juga ikut bertanggung jawab dalam pusaran skandal Jiwasraya.
Namun, karena hanya Bentjok yang didakwa bertanggung jawab atas kerugian Jiwasraya, tentu ini memunculkan kejanggalan. Bentjok, merasa dirinya hanya menjadi kambing hitam. Sementatara BPK menurutnya, dianggap menjadi pagar pelindung pelaku kakap lainnya.
"[Pertanyaannya] Siapa yang menyuruh?," tanyanya.
Baca Juga
Sampai sekarang belum jelas siapa yang berkepentingan terhadap polemik Skandal Jiwasraya ini. Namun, di luar konteks siapa yang menjadi "pemain utama" skandal ini, keberadaan Bakrie & Brothers (BNBR) sebenarnya bisa dilacak dalam laporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dilakukan BPK tahun 2016 lalu.
Hasil pemeriksaan BPK diketahui bahwa pada 30 Desember 2015, terjadi transaksi pembelian saham saham BNBR sebanyak 1.433.712.000 lembar saham dengan harga per lembar saham sebesar Rp43,00 atau senilai Rp61,6 miliar.
Transaksi ini merupakan pembelian saham BNBR dari produk unit link ke produk nonunit link (konvensional) yang sama sama-sama dimiliki Jiwasraya. Persoalannya, transaksi tersebut tidak dilakukan sesuai harga pasar yang berlaku dan sengaja dilakukan untuk memanfaatkan momentum window dressing pada Laporan Keuangan.
Indikatornya sangat jelas, BPK menyebut berdasarkan data transaksi diketahui bahwa nilai transaksi pembelian yang dilakukan atas saham-saham tersebut pada umumnya lebih tinggi dari harga pasar.
Pembelian saham BNBR, lanjut laporan itu termasuk RODA dan MTFN, untuk transaksi tanggal 30 Desember 2004 dan 2015 yang dilakukan mendekati periode tutup buku laporan keuangan unit link dimaksudkan supaya seolah-olah unit link tersebut memiliki kinerja yang cukup baik.
Namun demikian, jika dilihat dari sisi nilai transaksi, jumlah tersebut sangat jauh dibandingkan dengan yang disebutkan Bentjok. Dalam catatan Bisnis, yang juga terkonfirmasi dalam audit BPK, ada beberapa saham milik atau terafiliasi dengan Grup Bakrie yang dimiliki Jiwasyara.
Misalnya, PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) per 2015 lalu, Jiwasraya memiliki 25,6 juta lembar saham dengan nilai Rp6,4 miliar atau MTFN dengan kepemilikan saham sebanyak 5,8 miliar lembar atau senilai Rp293,2 miliar.
Yang menarik, alih-alih menjawab "nyanyian" Bentjok secara proporsional, Bos BPK Agung Firman Sampurna justru ingin mempolisikan bos PT Hanson Internasional Tbk dengan tuduhan mencemarkan nama baik.
Agung mengatakan bahwa BPK sangat menghormati proses penegakan hukum, sehingga tidak akan masuk ke substansi yang telah menjadi ranah pengadilan.
Dia memahami, bahwa tidak ada satupun manusia yang nyaman diperiksa apalagi harus berhadapan dengan aparat penegak hukum, mengikuti proses peradilan, lebih lagi jika sampai berstatus terdakwa.
"Tapi bagi yang diduga, disangka apalagi sampai didakwa melakukan perbuatan melawan hukum, tentunya mempertangungjawabkan semua perbuatannya secara hukum: tangan mencencang, bahu memikul!," katanya tegas.
Bukan yang Pertama
Polemik audit BPK sejatinya bukan kasus pertama yang dialami BPK. Pada 2019 lalu, hasil laporan investigasi lembaga auditor negara juga dipertanyakan oleh Sjamsul Nursalim, pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), salah satu obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Perlawanan Sjamsul waktu itu membuka babak baru dalam kasus yang telah menjebloskan eks Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung ke penjara (kini bebas).
Pihak Sjamsul cakup yakin kesimpulan BPK soal kerugian negara senilai Rp4,58 triliun atas penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI-BDNI menabrak sejumlah persoalan fundamental dalam mekanisme pemeriksaan.
Sama halnya dengan Bentjok, pengacara Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan menyebut prinsip audit yang dihasilkan oleh lembaga sekelas BPK seharusnya didasarkan pada independensi.
Dalam Kode Etik Pemeriksaan BPK terutama Pasal 1 ayat 5, pemeriksaan yang dilakukan BPK harus didasarkan pada proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen dan obyektif.
Selain itu Pasal 6 ayat 5 UU BPK juga menegaskan, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa (auditee) dan harus dikonfirmasi ke auditee-nya, serta harus menggunakan data primer.
“Nah ini tidak, hanya dari pihak KPK saja,” ungkapnya waktu itu.
Baik pihak Sjamsul Nursalim (waktu itu) atau Benny Tjokro (sekarang) sama-sama memperkarakan hasil audit ini ke Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Namun keduanya bernasib sama, tak jelas juntrungannya.
Nah, bedanya dalam kasus Sjamsul Nursalim, Otto juga melawan audit BPK ke Pengadilan Negeri Tangerang. Ada dua susbtansi utama dalam gugatan Sjamsul Nursalim waktu itu. Pertama, dia menyatakan BPK dan I Nyoman Wara yang merupakan Auditor Utama Investigatif telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Kedua, menyatakan LHP Investigasi terkait penghitungan kerugian negara atas pemberian surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali BDNI cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kelanjutan gugatan Sjamsul Nursalim tak diketahui dengan pasti. Namun sama seperti diketahui, sampai sekarang Sjamsul Nursalim tak pernah diperiksa KPK. Selain itu, Syafruddin Arsyad Temenggung telah bebas di tingkat kasasi.
Dengan demikian, tuduhan seperti yang tercantum dalam audit BPK soal SKL BDNI gugur di mata hukum. Nah, tentu saja kasus Bentjok menjadi tantangan kedua bagi BPK. Apakah Bentjok benar sebagai pelaku utama? Atau justru bakal bernasib baik seperti Syafruddin Tumenggung dalam kasus BLBI? Bagaimana menurut Anda?