Bisnis.com, JAKARTA – Kota-kota di Indonesia dinilai perlu diregenerasi dan direvitalisasi sehingga abisa lebih berkelanjutan dan lebih nyaman ditinggali. Lalu, seperti apa kota masa yang ideal pada masa depan?
Ketua Majelis Kode Etik Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro mengatakan bahwa hal terpenting bagi pembangunan kota adalah memastikan aspek livability atau daya hidupnya terjamin.
Berdasarkan survei yang dilakukan IAP pada 2019, katanya, 40 persen responden mengatakan bahwa kota-kota yang di Indonesia belum nyaman untuk ditinggali. Beberapa faktor yang membebani antara lain berkaitan dengan kualitas transportasi, polusi, ketersediaan air, dan bersih.
“Ini memperlihatkan pada kita bahwa menuju kota yang livable masih panjang,” katanya dalam webinar, Rabu (1/7/2020).
Bernardus menyebutkan bahwa ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu bagaimana pembangunan hunian bisa lebih hijau dan berkelanjutan, serta bagaimana industri-industri penting bisa terus berjalan meskipun dihadapkan dengan masa sulit.
Faktor selanjutnya adalah bagaimana perkotaan bisa menjaga keanekaragaman hayatinya tetap terjaga.
Selanjutnya, terkait dengan regulasi, bagaimana pemerintah bisa membuat kebijakan dan perencanaan yang tepat, yang Indonesia-sentris melihat banyaknya pulau, lokasinya yang berada di “Cincin Api”, membangun infrastruktur yang terintegrasi, dan membuat kebijakan urbanisasi yang tepat.
Selain itu, perlu juga dibentuk sistem kebijakan yang memberdayakan dan mendorong peran pemerintah kota dan daerah, serta adanya perencanaan menggunakan aspek teknologi atau dengan penerapan smart city.
“Tekonologi ini bukan berarti harus ada aplikasi atau hardware yang digunakan, melainkan bagaimana teknologi berupa inovasi ini bisa digunakan untuk mempermudah bidang pertanian, jualan barang, atau kebutuhan-kebutuhan urban lain dengan cepat dan seefisien mungkin,” jelasnya.
Adapun, dia tidak menampik bahwa infrastruktur tetap penting, terutama di bidang transportasi cepat yang mumpuni.
“Sistem ini baru ada di Jakarta, seperti MRT, itu pun belum tersebar. Jadi, masuk era new normal nanti perlu diperhatikan bagaimana pergerakan masyarakat ke tempat kerja bisa lebih efisien. Atau quick fix-nya melakukan perubahan pola berkendara dari kendaraan pribadi ke sepeda atau jalan kaki,” katanya.
Menurutnya, perubahan tersebut memang akan sangat berat bagi Indonesia, ditambah dengan kemampuan fiskal daerah yang sangat terbatas. “Saya kira ini harus menjadi perhatian terutama pemerintah pusat, bagaimana bisa menginovasi pembiayaannya,” ungkapnya.
Bernardus menyebutkan bahwa saat ini sudah ada beberapa kota sudah mulai mempunyai studi kelayakan untuk turut membangun transportasi massal cepat, tapi sering kali terhenti ketika biayanya tidak mencukupi.