Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior Indef Drajad Wibowo mengatakan tekanan ekonomi akibat pandemi virus Corona (Covid-19) membuat pemerintah dan legislatif mencari berbagai cara untuk mendapatkan likuiditas di saat krisis.
"Misbakhun [anggota Komisi XI] dan kawan-kawan DPR minta cetak uang, sementara pemerintah cetak utang. Ini sama saja, cuma beda huruf T," katanya saat diskusi webinar, Senin sore (29/6/2020).
Dia menilai kedua pendekatan yang digunakan oleh DPR dan pemerintah untuk mendapatkan dana di saat krisis pasti memiliki konsekuensi. Jika mengikuti saran DPR untuk mencetak uang dalam jumlah besar, maka akan menimbulkan dampak terhadap inflasi atau kenaikan harga di masyarakat.
Di sisi lain, langkah pemerintah untuk mencetak surat utang untuk membiayai stimulus Covid-19 dinilai bakal membebani neraca fiskal Indonesia. Apalagi, APBN sudah mengalami defisit bahkan sebelum krisis Covid-19 menghantam Indonesia.
"Sekarang pemerintah itu bayar bunga utang pakai utang baru. Ini namanya gali lubang, tutup lubang," imbuhnya.
Alih-alih mencari utang baru dengan imbal hasil yang tinggi kepada investor, dia menyarankan pemerintah melakukan langkah-langkah nonkonvensional, misalnya menggandeng intelejen dan memaksimalkan teknologi digital.
Baca Juga
Drajad bercerita dirinya pernah membantu Badan Intelejen Nasional (BIN) melakukan operasi untuk mencari pajak dari sebuah organisasi. Operasi tersebut berlangsung singkat, tetapi membuahkan hasil yang cukup memuaskan.
"Dalam satu operasi yang berlangsung 30 menit, satu orang berkomitmen untuk bayar pajak Rp400 miliar. Saya gak bilang untuk ikuti sama persis, tetapi harus diingat BIN ini punya infrastruktur dan data kuat untuk cari wajib pajak yang belum digarap pemerintah," ucapnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) telah menolak usulan Badan Anggaran DPR yakni mencetak Rp400-600 triliun yang diyakini dapat mengatasi masa krisis akibat pandemi virus Corona (Covid-19). Usulan tersebut disuarakan Komisi XI dari fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun.