Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku perdagangan menggunakan sistem elektronik (PMSE) dengan nilai transaksi lebih dari Rp600 juta dan jumlah traffic sebanyak 12.000 dalam setahun wajib pungut dan menyetorkan PPN.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Ditjen) Pajak No.PER - 12/PJ/2020 tentang Batasan Kriteria Tertentu Pumungut Serta Penunjukkan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN atas Barang Kena Pajak (BKP) Tak Berwujud atau Jasa Kena Pajak (JKP) melalui PMSE.
Selain mempertegas kriteria PPMSE yang bakal ditunjuk atau menjadi wajib pungut, dalam beleid yang ditetapkan pada 25 Juni 2020 itu otoritas pajak juga merinci tiga aspek yang perlu dilakukan PPMSE setelah ditunjuk sebagai wapu.
Pertama, pemungutan PPN. Dalam klausul ini seorang jumlah PPN yang dipungut senilai 10 persen dari setiap barang atau jasa. Selain itu, wapu PPN barang digital juga diwajibkan membuat bukti pungut yang berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran.
Kedua, wapu pemungut PPN PMSE wajib menyetorkan PPN yang dipungut setiap Masa Pajak paling lama diterima oleh bank atau pos persepsi atau lembaga persepsi lainnya pada akhir bulan berikutnya.
Dalam hal melakukan penyetoran, Wapu bisa menyetorkan PPN yang dipungit dalam bentuk mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal penyetoran, mata uang dolar Amerika Serikat, atau mata uang asing yang ditetapkan pemerintah.
Baca Juga
Ketiga, pemungut PPN PMSE wajib melaporkan PPN yang telah dipungut dan yang telah disetor secara kuartalan untuk periode 3 Masa Pajak, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode kuartal berakhir.
Sebagai contoh kuartal I untuk masa pajak Januari sampai dengan Maret, kuartal II masa pajak April sampai dengan Juni; kuartal III: masa pajak Juli sampai dengan September; dan kuartal IV masa pajak Oktober sampai dengan Desember.