Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengamat: Bantuan Pemerintah Bisa Perbaiki Likuiditas PLN

Pengamat menilai pembayaran piutang kompensasi oleh pemerintah bisa memperbaiki kondisi keuangan PLN.
Petugas PLN melakukan pemeriksaan listrik. Istimewa/PLN
Petugas PLN melakukan pemeriksaan listrik. Istimewa/PLN

Bisnis.com, JAKARTA - Pembayaran piutang kompensasi oleh pemerintah kepada PT PLN (Persero) dinilai akan memperbaiki kondisi keuangan perusahaan tersebut pada masa pandemi Covid-19.

Pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat rencana pemerintah untuk membayarkan piutang kompensasi pada bulan depan akan bisa memperbaiki likuiditas PLN.

"Ini sangat bagus karena juga bisa dipakai untuk investasi belanja modal dan memperbaiki likuiditas PLN," ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (25/6/2020).

Dia menambahkan setiap tahun belanja modal PLN mencapai US$7 miliar hingga US$8 miliar. Namun, tahun ini sepertinya diminta turun karena eksekusi proyek juga terhalang atau terkendala Covid-19.

"Menteri BUMN minta capex [belanja modal] PLN turun dari rencana Rp100 triliun menjadi Rp50 triliun hingga Rp60 triliun," katanya.

Pihaknya juga menyoroti membengkaknya utang PLN yang mencapai hampir Rp500 triliun hingga akhir tahun lalu. Sejak awal program 35.000 MW diluncurkan, sekitar 40 persen total investasi memang ditanggung oleh PLN khususnya investasi pembangkit sebanyak 10 GW dan transmisi dan distribusi.

Adapun, diperkirakan estimasi kebutuhan investasi program 35.000 MW sebesar U$80 miliar, PLN menyediakan sekitar US$35 miliar atau Rp500 triliun hingga Rp550 triliun.

"Iya pastinya membengkak. Dari total kebutuhan pendanaan itu, dana sendiri paling banyak 20 - 25 persen, makanya sisanya dari pinjaman," ucapnya.

Namun demikian, menurutnya, bukan karena 35.000 MW utang PLN membengkak tetapiuntutan PLN dengan nilai asset US$100 miliar hingga US$120 miliar memang harus investasi paling tidak 8 hingga 10 persen.

"Apalagi selama beberapa tahun sebelumnya, nilai investasi PLN tidak besar hanya US$3 miliar hingga US$4 miliar per tahun," tutur Fabby.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper