Pandemi Covid-19 mengancam kelangsungan kegiatan usaha di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Mayoritas perusahaan berbagai sektor industri terpuruk. Ekonomi kita sudah berada di level yang sangat mengkhawatirkan.
Pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai daerah untuk membatasi mobilisasi masyarakat agar penularan tidak meluas. Penetapan ini memunculkan konsekuensi bagi perekonomian. Membuat melemahnya permintaan atau perdagangan pada berbagai sektor industri.
Supaya tidak mati, berbagai perusahaan melakukan hibernasi dengan cara mengepompong. Mereka menghemat sebanyak mungkin sumber daya untuk waktu entah kapan kondisi pandemi bisa disebut aman. Mengembalikan ekosistem ekonomi yang telanjur rusak sama beratnya dengan perang melawan pandemi itu sendiri.
Namun optimisme belum mati. Organisasi akan terus beradaptasi di masa sulit. Mengurangi beban biaya selama masa hibernasi adalah adaptasi yang paling sederhana dan konvensional yang banyak dilakukan.
Adaptasi yang lebih maju pada saat sulit adalah dengan melakukan berbagai inovasi: suatu tindakan kreatif yang sistematis, terencana dengan proyeksi masa depan, dan ukuran supply demand. Bahkan inovasi tetap dilakukan meski tanpa demand saat ini atau suatu saat nanti, karena keyakinan bahwa supply akan menciptakan demand.
Inovasi bisnis adalah ruh yang membangkitkan ekonomi, sementara ekonomi adalah ruh yang mewujudkan kesejahteraan. Perusahaan yang mengedepankan inovasi akan mampu bertahan di masa sulit sementara yang bergerak dengan cara bisnis konvensional akan tertinggal. Sejarah menunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan raksasa sekalipun akhirnya gulung tikar, karena tidak mau berinovasi. Sebaliknya perusahaan rintisan justru menjelma menjadi raksasa baru dengan modal inovasi.
Kemampuan suatu negara untuk bertahan dalam masa pandemi tecermin dari kemampuan mereka mengadaptasi kemajuan teknologi dan mendukung industri yang ada untuk menghasilkan inovasi. The new normal tidak hanya terjadi pada cara individu-individu berinteraksi tetapi juga terjadi pada protokol operasional perusahaan, proses produksi, proses delivery, dan proses berkomunikasi antar pemangku kepentingan.
Kita menaruh harapan besar agar mereka bisa beradaptasi di masa sulit untuk menciptakan inovasi yang menuju ke masa depan, ke arah kemandirian yang berkelanjutan, ke arah kesiapan menghadapi persaingan ekonomi dunia yang tidak akan mereda.
Maka, salah satu tantangan yang musti segera diselesaikan adalah menciptakan iklim agar inovasi bisa berdampingan dengan regulasi, bukan saling berhadapan. Karena inovasi adalah perubahan menuju perbaikan secara sistematis yang diadopsi oleh entitas organisasi maka jelas sangat mungkin inovasi itu berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah terjadi.
Sementara regulasi adalah produk pemerintah yang dikeluarkan untuk mengatur kebiasaan yang sudah terjadi menjadi kebiasaan yang diinginkan. Kalau pemahaman ini sejalan, inovasi-inovasi yang dilahirkan oleh dunia usaha akan mendorong inovasi yang dilahirkan oleh pemerintah melalui regulasi.
Oleh karena itu, kita musti mulai merealisasikan iklim kebijakan yang mendorong inovasi-inovasi itu muncul. Setidaknya tiga prasyarat inovasi di lingkup makro nasional. Pertama, karena tuntutan ketersediaan bahan baku, termasuk infrastruktur penunjang. Kedua, karena tuntutan market yang berubah. Ketiga, karena adanya kebijakan pemerintah yang mendukung inovasi.
Global Innovation Index 2019 menunjukkan Indonesia menduduki peringkat 85 dari 129 negara. Peringkat inovasi Indonesia berada jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia (35) dan Filipina (54). Di banyak negara maju anggaran kegiatan riset dan pengembangan produk inovatif didominasi perusahaan swasta. Di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Riset dan Teknologi, 84% dari total belanja riset dan pengembangan berasal dari pemerintah.
Belakangan ini pemerintah mulai melihat bahwa perkembangan inovasi produk bisa menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan dunia usaha yang berdaya saing tinggi. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150 Tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, diberikan insentif untuk produk inovatif.
Insentif ini diberikan bagi industri pionir yang mengaplikasikan teknologi baru. Pemerintah juga merilis kebijakan super tax deduction untuk kegiatan riset dan pengembangan (PP No 45 Tahun 2019).
Pemerintah memberikan insentif pajak bagi para pelaku usaha atas biaya yang mereka keluarkan untuk membiayai riset maupun vokasi. Biaya untuk kegiatan riset tersebut konon dijanjikan bisa digunakan untuk mengurangi pajak hingga 200%-300%.
Sayangnya, insentif untuk inovasi dan pengembangan teknologi masih di tataran kebijakan. Aturan teknis yang menjadi turunannya belum terbit. Padahal, di tengah pandemi Covid-19, aturan teknis ini mendesak. Menimbang besarnya investasi atas suatu produk inovasi, dibutuhkan intervensi pemerintah.
Bisa dalam bentuk berupa subsidi, pajak dan bea yang disesuaikan agar biaya produksi dapat ditekan. Tujuan strategiknya supaya menjadi insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan cakupan peredaran produk inovatif dengan harga yang lebih terjangkau bagi masyarakat luas.
Jika pemerintah mengarahkan negara ini kelak menjadi produsen dan bukan sekadar negara dagang maka juga diperlukan aliran investasi, baik lokal maupun asing. Untuk itu selain kebijakan yang mendukung, juga diperlukan penguatan reformasi struktural agar dapat mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dan mampu menarik lebih banyak investasi pasca Covid-19.
Dengan cara ini, perusahaan semakin terdorong untuk segera berinovasi, mendorong peningkatan kualitas dan kapasitas produksi, mendukung riset dan transfer teknologi, dan lebih penting lagi memastikan produk inovatif bisa terjangkau masyarakat luas atau menjadi bagian dari siklus supply chain yang lebih berketahanan, atau sebut saja lebih mandiri.