Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aktivis Anti Korupsi Pertanyakan Perdirjen Bea Cukai Soal Diskon Rokok

Aktivis soroti keberadaan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea dan Cukai Nomor 37/2017 tentang Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau karena dinilai bakal menyebabkan kerugian negara.
Petani menyiangi rumput di antara tanaman tembakau di perladangan lereng gunung Sindoro desa Tlahab, Kledung, Temanggung, Jateng, Senin (5/6)./Antara-Anis Efizudin
Petani menyiangi rumput di antara tanaman tembakau di perladangan lereng gunung Sindoro desa Tlahab, Kledung, Temanggung, Jateng, Senin (5/6)./Antara-Anis Efizudin

Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea dan Cukai Nomor 37/2017 tentang Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau menuai kritik dari aktivis antikorupsi. Pasalnya, aturan itu menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan berupa Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan).

Perdirjen No.37/2017 Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau menerangkan bahwa pabrikan diizinkan mematok harga rokok di bawah 85% dari harga jual eceran (HJE) minimum, asalkan dilakukan tidak lebih di 50% kantor wilayah pengawasan Bea dan Cukai.

Aktivis anti korupsi Emerson Yuntho menegaskan bahwa tidak ada naskah akademik/kajian mengenai ketentuan kelonggaran 50 persen area pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

"Tidak ada pula penjelasan dalam peraturan ini," ujarnya seperti dikutip, Senin (22/6).

Emerson mengatakan bahwa aturan tersebut juga dinilai lebih longgar ketimbang ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 yang terus direvisi hingga PMK 152/2019.

Pasalnya pada aturan tingkat menteri tersebut, harga transaksi pasar rokok dibatasi minimum 85% dari HJE yang tertempel di pita cukainya.

Emerson menjelaskan, berdasarkan simulasi awal yang dilakukan, potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok tahun 2020 akibat kebijakan diskon, termasuk ketentuan 50% kantor wilayah pengawasan Bea dan Cukai, mencapai Rp2,6 triliun.

Angka ini diperoleh dari simulasi dasar terhadap riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2019. Riset ini berdasarkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE. Hasilnya, negara berpotensi kehilangan PPh badan sebesar Rp1,73 triliun.

Dengan asumsi tahun ini terjadi kenaikan rata-rata 52,1% HTP dan HJE pada segmen SKM dan SPM (sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau), potensi kehilangan penerimaan negara tersebut akan naik menjadi Rp2,6 triliun.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengaku memiliki pandangan yang sama. Ia menegaskan, jika kebijakan diskon rokok tetap dipertahankan, maka potensi penerimaan negara yang berjumlah triliunan rupiah akan hilang. Peredaran rokok yang didiskon menyebabkan penerimaan PPh badan menjadi tidak optimal.

Dia mendorong agar kebijakan tersebut sebaiknya diatur ulang jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh Badan. Maka itu, ketentuan diskon rokok pada Perdirjen 37/2017 beserta ketentuan 50% kantor pengawasan Bea dan Cukai perlu dihilangkan.

"Ada urgency pentingnya regulasi ini dihilangkan," kata Tauhid.

Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Pande Putu Oka Kusumawardani, menyatakan bahwa ketentuan HTP sebesar minimal 85% dari HJE pada PMK 152/2019 sesungguhnya tidak bertujuan untuk mendiskon rokok.

“Sebenarnya kita perlu meluruskan bahwa diskon rokok bukan terminologi yang tepat. Pengaturan tersebut adalah refleksi dan pertimbangan bahwa ada rantai proses produsen ke konsumen yang membutuhkan biaya, sehingga pemerintah mengatur harga HTP bisa di bawah HJE,” kata Pande.

Ketika disinggung mengenai dasar toleransi 50% area pengawasan pada Perdirjen BC 37/2017, ia menuturkan bahwa semua masukan tentunya akan ditinjau apakah mekanisme ini masih berjalan tepat di lapangan atau masih memerlukan penyesuaian.

“Kami akan mempertimbangkan secara serius mengenai masukan atau aspirasi dari semua pihak mengenai kebijakan cukai tembakau, termasuk juga mengenai PMK Nomor 152/2019 maupun Perdirjen 37/2017,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper