Bisnis.com, JAKARTA – Komisi VII DPR mempertanyakan kinerja hulu migas yang realisasinya kerap tidak mencapai target setiap tahunnya.
Anggota Komisi VII dari Fraksi PKS Mulyanto mengatakan bahwa realisasi produksi siap jual (lifting) Indonesia dalam beberapa tahun ke belakang trennya terus menurun.
Selain itu, realisasi produksi siang jual atau lifting migas Indonesia selalu tidak mencapai dari target yang dipatok setiap tahunnya. Pada tahun ini, target lifting tersebut dikhawatirkan kembali tidak tercapai karena adanya pandemi Covid-19.
Berdasarkan catatan Bisnis, realisasi lifting migas pada 2018 berada pada 1.927 juta barel minyak ekuivalen per hari (mboepd), dan turun menjadi 1.806 mboepd pada 2019.
Sementara itu, pada tahun ini, asumsi lifting migas dipatok pada 1.697 mboeped, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya.
Adapun, SKK Migas memproyeksikan produksi siap jual minyak dan gas bumi sebesar 1.712 mboepd pada 2021.
"Kalau harga ICP semakin lama semakin naik, mestinya kalau kita perkirakan jauh-jauh hari ini outlook 2021 mestinya lebih tinggi dari 2020, jadi tidak mungkin flat," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan SKK Migas, Kamis (18/6/2020).
Harry Purnomo, Anggota Komisi VII dari Fraksi Gerindra turut mempertanyakan proyeksi yang dipaparkan oleh SKK Migas tersebut.
Harry menilai, asumsi yang diberikan oleh SKK Migas dinilai merugikan negara, khususnya dalam hal pendapatan negara dari sektor hulu migas.
Pasalnya, dalam tigas asumsi distribusi pendapatan dan cost recovery pada 2021, cost recovery yang dikucurkan pemerintah jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara.
Pada asumsi yang terendah dengan asumsi ICP US$40 per barel, distribusi penerimaan pada 2021 mencapai US$18,7 miliar dengan perincian US$8,4 miliar cost recovery, US$5,3 miliar bagian negara, US$5,01 bagian KKKS.
Sementara itu, pada asumsi ICP US$45 per barel, distribusi penerimaan negara diproyeksikan mencapai US$20,49 miliar yang terdiri atas cost recovery US$8,85 miliar, US$6,14 miliar bagian negara, dan US$5,5 miliar bagian KKKS.
Asumsi yang terkahir, dengan ICP pada level US$50 per barel, distribusi penerimaan negara diproyeksikan US$22,31 miliar dengan cost recovery US$9,19 miliar, bagian negara US$7,19 miliar, dan bagian kontraktor US$5,94 miliar.
"Kalau dilihat grafik, kita buntung, tetapi pada outlook 2020 kita lost, kalau rugikan berarti kan APBN yang nombok ," ungkapnya.