Salah satu isu penting dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Cika) adalah hadirnya klausul baru terkait uang penghargaan. Dunia usaha pun bersuara menyampaikan keberatan atas ketentuan ini. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan bahwa ketentuan ini menimbulkan beban operasional yang besar, padahal situasi bisnis saat ini dan ke depan masih akan sulit. Potensi implikasi tersebut menyisakan pertanyaan bagi pengusaha, kemana arah uang penghargaan ini?
Pengaturan soal uang penghargaan yang tidak tepat niscaya bisa berdampak terhadap pemberi kerja dan kepentingan perusahaan secara umum. Reformasi regulasi ketenagakerjaan semestinya menjamin hak pekerja dengan memperhatikan kemampuan finansial perusahaan agar tidak bangkrut. Pertanyaannya adalah apakah ketentuan uang penghargaan dalam RUU ini mengakomodasi kepentingan perusahaan secara umum?
Perubahan ketentuan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dalam beleid ini adalah penurunan tahun maksimal dari 24 tahun menjadi 21 tahun. Kompensasi maksimal yang diperoleh adalah 8 bulan upah, berbeda dengan ketentuan sebelumnya (10 bulan upah). Perubahan UPMK dalam beleid ini akan menciptakan celah dan mengurangi kompensasi yang semestinya diperoleh bagi pekerja yang bekerja sebelum RUU ini sah.
Filosofi kompensasi ini adalah agar pengusaha tidak mudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun filosofi tersebut menimbulkan implikasi berupa sulitnya penciptaan lapangan kerja. Analoginya jika perusahaan dipersulit melakukan PHK maka perusahaan akan berhati-hati melakukan rekruitmen.
Keran yang dipersulit inilah yang menyebabkan penciptaan lapangan pekerjaan di Indonesia sedikit terhambat. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan pada 2016 investasi sebesar Rp612,8 triliun dan menyerap 1,39 juta pekerja. Adapun pada 2019, investasi Rp809,6 triliun hanya menyerap 1,03 juta pekerja. Peningkatan investasi yang semestinya inline dengan penciptaan lapangan kerja menjadi terhambat karena masalah ‘keran’ dalam regulasi ini.
Perubahan ketentuan UPMK juga harus meminimalisasi kemungkinan adanya wanprestasi dari pekerja. Realita menunjukkan bahwa banyak terjadi penyimpangan di mana pekerja sengaja melakukan wanprestasi agar di PHK. Pekerja sengaja melakukan wanprestasi agar mendapat uang pesangon. Praktek wanprestasi tersebut dikhawatirkan berdampak negatif terhadap perusahaan.
Jika cita-cita besar RUU Cika adalah menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, aspek fleksibilitas harus didahulukan. Regulasi ketenagakerjaan semestinya memudahkan pengusaha untuk melakukan rekruitmen (easy to hire) daripada berkutat pada perubahan nominal. Kapasitas finansial perusahaan juga harus menjadi perhatian, sehingga nominal dalam beleid ini tidak mejadi beban. Pemenuhan kompensasi dengan sistem jaminan sosial dapat diberlakukan dengan skema integrasi jaminan kehilangan pekerjaanP.
Konsep dasar Uang Penghargaan Lainnya (UPL) adalah kompensasi yang diberikan satu kali saja dalam setahun sejak RUU ini sah. Ketentuan mengenai kondisi dan kemampuan perusahaan juga diabaikan dalam klausul ini. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa tidak semua pengusaha mampu memenuhi kompensasi PHK, dan kini pengusaha diwajibkan membayar ‘sweetener’ sebagai konsekuensi sahnya RUU ini.
Ketentuan UPL seharusnya dicabut karena kompensasi ini hanya akan menambah beban finansial perusahaan. Wajar PHRI mengeluh karena komponen gaji industri perhotelan bisa mencapai 25% dari total beban perusahaan. Pandemi yang melumpuhkan pariwisata berdampak pada okupansi hotel, sehingga omset hotel menurun di tengah tuntutan belanja operasional. Begitu juga dengan sektor lain dengan beban operasional tenaga kerja yang tinggi.
Masa pandemi Covid-19 menyebabkan perekonomian mengalami declining. Data Kemenaker 11 April 2020 menyebutkan bahwa terdapat 160.067 pekerja yang terkena PHK akibat pandemi ini. Kondisi perekonomian yang belum stabil disertai adanya gagasan pengesahan RUU Cika pada tahun ini hanya akan membebankan perusahaan. Posisi perusahaan terkait pemberian sweetener ini cenderung sulit karena perekonomian sedang kolaps akibat adanya pandemi.
Ketentuan ini juga menciptakan iklim ketenagakerjaan yang kontraproduktif. Kompensasi yang tidak ada hubungannya dengan produktivitas akan menjadi beban, padahal kompensasi tersebut harus sesuai dengan produktivitas pekerja. Semestinya, semua kompensasi dalam beleid ini bisa berdampak positif terhadap produktivitas, sehingga daya saing ketenagakerjaan Indonesia meningkat.
Sebagai catatan akhir, sesuai namanya, RUU ini dirancang untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Celah antara angkatan kerja dan pekerjaan yang tersedia menjadi masalah utama yang harus dituntaskan. Ketentuan uang penghargaan existing masih sulit dijalankan tetapi reformasi regulasi masih abai terhadap realita. Lantas, kemana arah ketentuan uang penghargaan semestinya?
Sudah saatnya regulasi ketenagakerjaan melangkah kedepan mengingat tantangan persaingan global dan fenomena disrupsi sudah di depan mata. Perjanjian kerja berbasis kemitraan sudah saatnya diatur dalam regulasi ketenagakerjaan. Pemerintah juga semestinya mencari titik tengah dalam menyusun regulasi ini dengan mengedepankan solusi peningkatan pertumbuhan usaha. Uang penghargaan harus menciptakan iklim kerja yang produktif guna meningkatkan daya saing usaha.
Selain itu Undang-Undang (UU) No. 13/2003 harus direvisi, tentunya dengan mengedepankan fleksibilitas regulasi dan kemampuan perusahaan sebagai determinan, termasuk butir tentang uang penghargaan. Situasi di lapangan memperlihatkan bahwa pandemi Covid-19 telah mengubah keadaan perekonomian. Kemampuan perusahaan menjadi determinan daya tahan, kemampuan, dan kepatuhan dalam melaksanakan aturan yang ditetapkan pemerintah terkait dengan hak pekerja.