Meski kepanikan investor di pasar keuangan saat ini telah berangsur menurun dan indikator sektor keuangan membaik, pandemi Covid-19 telah mempengaruhi kinerja sektor keuangan global, tak terkecuali Indonesia.
Pada Maret 2020, indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat terkoreksi signifikan hingga di atas 25% (ytd). Pelemahan yang sempat terjadi pada IHSG memberi dampak risiko dan mempengaruhi nilai portofolio investor yang menempatkan sebagian dana kelolaannya di instrumen saham. Saat ini pasar modal Indonesia telah menunjukan tren positif dengan penguatan IHSG, sampai ke level di atas 5.000 di awal Juni.
Perlambatan perdagangan global juga telah berdampak pada melemahnya harga komoditas ekspor Indonesia. Pada Mei tembaga, batu bara, dan karet turun di atas 5% ytd. Penurunan harga tersebut dapat mempengaruhi risiko kemampuan bayar korporasi yang mendapat kredit dari bank.
Meskipun saat ini rupiah telah secara berangsur terapresiasi ke level di bawah Rp14.000 per dolar (per 9 Juni 2020), pada Maret, nilai tukar rupiah sempat terdepresiasi sebesar 19,6% dan mencapai lebih dari Rp.16.500 per dolar, posisi terendah sejak krisis moneter 1998.
Pandemi juga mempengaruhi arus modal keluar dari Indonesia pada Januari-Mei 2020 yang telah mencapai Rp141,41 triliun (Bloomberg). Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode taper tantrum 2013 dan krisis keuangan global 2008.
Saat ini arus modal telah menunjukan tren positif di mana pada minggu pertama Juni 2020 telah terdapat inflow neto sebesar Rp7,01 triliun (Bank Indonesia).
Membaiknya kinerja sektor keuangan Indonesia tidak terlepas dari langkah pemerintah dan otoritas terkait yang secara kolaboratif mengeluarkan kebijakan responsif dari sisi fiskal, moneter, dan sektor keuangan.
Dampak pandemi terhadap pasar keuangan Indonesia kian menunjukan perlunya penguatan mekanisme hedging (lindung nilai) untuk memfasilitasi pembiayaan, membantu investor untuk mengelola volatilitas saham dan komoditas serta mismatch durasi dan nilai tukar.
Variasi produk derivatif di Indonesia tergolong masih minim, hanya terdapat dua produk derivatif ekuitas yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia yaitu IDX LQ45 Futures dan Indonesia Government Bond Futures. Di pasar over the counter (OTC) derivatif pasar uang, volume transaksi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga tergolong kecil.
Mayoritas transaksi derivatif di Indonesia didominasi oleh produk derivatif nilai tukar sebesar 97,27%, diikuti derivatif komoditas sebesar 1,82%, dan produk derivatif suku bunga sebesar 0,91% (turnover rate tahun 2019). Eksposur derivatif perbankan Indonesia juga masih relatif kecil, kurang dari 2% dibandingan dengan Singapura.
Pengenalan variasi instrumen derivatif ekuitas dibarengi dengan regulasi untuk memastikan risiko dapat diukur efektif seperti margin dan ketentuan batas eksposur, penting untuk meningkatkan partisipasi investor ritel maupun institusi. Dalam rangka penguatan transaksi derivatif, khususnya yang diperdagangkan secara OTC, kebutuhan untuk meregulasi dan memonitor dengan baik oleh otoritas mutlak diperlukan guna memitigasi risiko sistemik di pasar keuangan.
Berdasarkan komitmen G-20 di Pittsburgh (2009), setidaknya penerapan transaksi OTC Derivatif melalui electronic trading platforms, mekanisme kliring melalui central counterparties (CCP), dan pelaporan ke trading repositories perlu diterapkan untuk seluruh produk derivatif. Termasuk menerapkan persyaratan permodalan dan margin yang lebih tinggi untuk transaksi yang tidak dikliringkan melalui CCP.
Pemenuhan komitmen G-20 untuk menerapkan OTC Derivative Market Reforms di Indonesia telah ditunjukan dengan pelaporan transaksi yang telah dilaksanakan untuk seluruh derivatif kelas aset. Standarisasi transaksi melalui CCP dan trading platform telah diterapkan pada transaksi derivatif komoditas dan ekuitas.
Adapun untuk pasar uang telah diinisiasi. Implementasi persyaratan modal yang lebih tinggi untuk transaksi yang tidak dikliringkan juga telah dilakukan, sementara persyaratan margin untuk bank yang melakukan transaksi derivatif pasar uang sedang dikembangkan otoritas terkait.
Meski komitmen G-20 tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko sistemik pasar keuangan, penerapannya diperlukan agar pasar keuangan domestik bisa lebih kompetitif sehingga dapat memperdalam pasar keuangan.
Standarisasi dan transparansi pembentukan harga serta compliance sesuai dengan arah regulasi global dibutuhkan agar Indonesia tidak kehilangan akses ke pasar derivatif dunia guna memfasilitasi kebutuhan hedging investor, serta agar kebutuhan lindung nilai di pasar onshore tetap dapat difasilitasi optimal.
Tantangan pengembangan transaksi derivatif kerap muncul dari sisi implementasi penegakan kontrak mengingat masih minimnya pemahaman masyarakat dan para penegak hukum. Kebanyakan pelaku pasar masih meragukan efektivitas penegakan kontrak derivatif yang terkait dengan klaim dan close out netting ketika terjadi default salah satu pihak dalam transaksi derivatif.
Dalam rangka pendalaman instrumen derivatif diperlukan usaha bersama untuk mendorong pelaku pasar seperti bank agar menjelaskan resiko terhadap transaksi derivatif secara lebih jelas dan mudah kepada nasabah, sehingga tidak dimaknai semata-mata sebagai aktivitas spekulasi.
Selain itu monitoring kebijakan yang komprehensif cross-products perlu dilakukan untuk memastikan kebijakan yang diambil antar otoritas dapat diimplementasikan secara efektif dan terhindar dari potensi tumpang tindih yang akan mengurangi efisiensi pasar.