Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Yahya Zaini berharap Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai No.37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau dapat ditinjau ulang keberadaannya.
Pasalnya, pada beleid itu pemerintah membolehkan produsen rokok menjual produknya di bawah 85% dari harga jual eceran (HJE), atau harga banderol, sepanjang dilakukan di kurang dari separuh kantor wilayah pengawasan kantor Bea Cukai seluruh Indonesia.
Menurut Zaini, peraturan tersebut telah menimbulkan terjadinya fenomena rokok murah yang dijual dibawah harga banderol, dan hal ini bertentangan dengan program perlindungan anak.
“Karena salah satu sebab anak dan remaja merokok lantaran harga rokok yang murah. Rokok murah membuka peluang anak-anak terpapar bahaya rokok,” kata Yahya melalui keterangan resmi seperti dikutip, Senin (8/6).
Menurutnya berdasarkan catatan terakhir pemerintah, saat ini terdapat sekitar 98 kantor bea cukai yang dihitung sebagai basis pengawasan dan masing-masing kantor dapat membawahi lebih dari satu kabupaten/kota.
Artinya, produsen masih dapat menjual rokok murah dengan harga di bawah 85% banderol di lebih dari 49 kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Sementara, tegas Zaini, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019, Pemerintah sudah menetapkan harga jual rokok tidak boleh kurang dari 85% harga bandrol pada bungkus rokok. Namun kenyataan di lapangan masih ditemukan harga dibawah itu.
“Penetapan cukai rokok merupakan instrumen untuk mengendalikan konsumsi rokok. Karena itu, pemerintah selalu menaikkan tarif cukai rokok dari tahun ke tahun. Tapi kalau di lapangan selalu ada pelanggaran-pelanggaran seperti ini dan dibiarkan, maka tujuan tersebut tidak akan tercapai,” ujarnya.
Menurut Zaini, terjadinya penyimpangan lantaran pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu, pihalnya meminta Dirjen Bea Cukai bertindak tegas tanpa pandang bulu.
“Saya setuju adanya tindakan tegas dan konsisten terhadap penyimpangan tersebut. Sekali lagi Bea Cukai bertanggung jawab soal ini,” katanya.
Zaini menambahkan selain berdimensi ekonomi rokok juga punya dampak sosial. "Kita harus menjaga agar rokok tidak menjangkau anak - anak dan remaja kita. Oleh karena itu aturan itu perlu untuk ditinjau kembali demi menyelamatkan generasi muda Indonesia agar cerdas, sehat dan unggul,” terangnya.
Hal senada disuarakan oleh Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari. Ia meminta agar kebijakan diskon rokok ditinjau ulang karena tergolong produk berbahaya dan perlu pengawasan peredarannya.
Lisda menyebutkan, ada dua penyebab tingginya perokok anak yang saling berkaitan erat, yaitu praktik iklan rokok yang sangat leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya, dan harga rokok yang relatif terjangkau dimana memudahkan anak-anak membeli rokok.
"Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak, karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya," jelas Lisda.
Karena itu, Lentera Anak mendesak pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.