Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KKKS Tetap Perlu Stimulus Meski ICP Merangkak Naik

Dengan asumsi ICP yang berada pada level US$38 per barel sepanjang tahun ini membuat sejumlah program kerja menjadi tidak ekonomis.
Fasilitas produksi Blok Rokan yang dikelola PT Chevron Pacific Indonesia, Minas, Riau. Dok: SKK Migas
Fasilitas produksi Blok Rokan yang dikelola PT Chevron Pacific Indonesia, Minas, Riau. Dok: SKK Migas

Bisnis.com, JAKARTA – Kendati harga minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) mulai merangkak naik, kebijakan stimulus masih tetap dibutuhkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Praktisi hulu migas Nanang Abdul Manaf berpendapat, dengan asumsi ICP yang berada pada level US$38 per barel sepanjang tahun ini membuat sejumlah program menjadi tidak ekonomis.

Lebih lanjut, mantan Direktur Utama Pertamina EP itu menambahkan, dengan asumsi ICP tahun ini, sekitar 50 persen program kerja tidak bisa dieksekusi mengingat nilai keekonomiannya yang tidak baik bagi sejumlah kontraktor jika tidak adanya stimulus dari pemerintah.

"Realitas dari industri pasti keekonomian dari Kontraktor. Untuk itu perlu stimulus untuk mengangkat keekonomian kontraktor melalui stimulus, apakah itu split, tax, dan lain-lain," katanya kepada Bisnis, Senin (8/6/2020).

Sementara itu, Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menuturkan bahwa secara operasional, asumsi ICP yang diatas level US$30 per barel sebetulnya sudah masuk untuk nilai keekonomian.

Namun, untuk aktivitas eksplorasi dan proyek pengembangan, asumsi itu dinilai tidak ekonomis.

"[Untuk aktivitas tersebut] tentu diperlukan stimulus," jelasnya.

Dia menjelaskan dengan tren harga minyak yang mulai merangkak naik saat ini perlu disikapi dengan sangat hati-hati.

Pasalnya, pergerakan harga minyak dunia masih perlu diamati lebih lanjut hingga benar-benar stabil. Menurut dia, tren harga minyak yang naik jangan sampai disikapi secara reaktif.

Kendati terdapat sejumlah sentimen positif sebagai penggerak harga minyak dunia seperti kesepakatan OPEC+ untuk memangkas produksinya, tetapi dinilai belum cukup untuk mengakomodir penurunan permintaan karena dampak pandemi Covid-19.

Di sisi lain, juga terdapat sentimen negatif yang mungkin akan menarik harga minyak dunia untuk turun di antaranya adalah resesi ekonomi global, perang dagang Amerika Serikat dengan China.

Pri Agung menilai rentang harga minyak dunia yang mencerminkan fundamental supply dan demand sepanjang tahun ini adalah US$30 per barel–US$40 per barel, apabila bergerak di atas level tersebut maka hal tersebut lebih kepada fluktuasi harga pasar.

"Jangan terlalu reaktif dengan fluktuasi harga yang ada karena pergerakan harga harian di market tidak selalu beriringan dengan fundamentalnya," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper