Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan menolak permintaan para pengusaha batu bara untuk memberikan insentif sementara berupa relaksasi pembayaran royalti di tengah pandemi Covid-19.
Direktur Penerimaan Minerba Kementerian ESDM Johnson Pakpahan mengatakan relaksasi royalti bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap penerimaan negara. Terlebih, di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini, pemerintah banyak mengeluarkan dana sehingga perlu optimalisasi penerimaan.
"Kalau saya enggak mau relaksasi, karena belum melihat itu urgent dan dampaknya banyak. Pimpinan kami (Menteri ESDM) tidak mengarahkan untuk memperbolehkan dan tetap sesuai ketentuan," ujarnya dalam diskusi virtual, Jumat (5/6/2020).
Saat ini, royalti batu bara dihitung menggunakan formulasi harga mana yang lebih tinggi antara harga patokan dengan harga jual. Hal itu dilakukan untuk mencegah praktik kecurangan seperti transfer pricing dimana pemegang izin melakukan transaksi antara anak perusahaan maupun trader yang terafiliasi.
"Harga aktual pun belum tentu menggambarkan harga yang sebenarnya. Formulasi yang berlaku justru untuk menghindari transaksi perusahaan yang tidak wajar," katanya.
Selain meminta perubahan penghitungan formula royalti, para pengusaha memohon untuk membayar royalti setelah pengapalan. Menurutnya, hal itu akan mengganggu arus kas penerimaan negara yang saat ini tertekan pandemi Covid-19.
Baca Juga
Saat ini para perusahaan mendapatkan pembayaran kontrak di muka sehingga hal yang sama seharusnya diberlakukan oleh perusahaan untuk membayar kewajiban ke pemerintah.
Dia menilai pembayaran royalti di muka juga mempermudah pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perusahaan dan kontrol terhadap penerimaan negara supaya tetap stabil.
"Kalau perusahaan menerima pembayaran di muka, pemerintah juga mendapatkannya. Jika ada penundaan akan sangat mengganggu cash flow pemerintah," ujar Johnson.
Sebelumnya, para pengusaha tambang meminta diberikannya relaksasi sementara pembayaran royalti batu bara.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Baru Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan di saat kondisi pasar yang oversupply sehingga harga komoditas terus tertekan, perusahaan mengalami kesulitan dalam mengelola cash flow akibat semakin melebarnya disparitas selisih antara Harga Patokan Batubara (HPB) dengan harga jual batubara FOB aktual.
"Banyak pembeli lebih prefer harga jual menggunakan acuan harga sesuai indeks atau dikenal dengan istilah index-linked," ujarnya kepada Bisnis.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1823 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanan Pengenaan, Pemungutan, Dan Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Mineral dan Batubara, untuk pembayaran royalti ke negara harus mengacu kepada HPB. Dengan kondisi pasar seperti ini, harga jual aktual batubara semakin rendah sehingga perusahaan terbebani dengan selisih tersebut yang menjadi kewajiban yang harus dibayar.
"Adapun selisih antara Harga Jual Aktual vs HPB yang dialami anggota kami bahkan ada yang mencapai US$5 per ton," katanya.
APBI meminta agar pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM merevisi sementara Keputusan Menteri ESDM No. 1823 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanan Pengenaan, Pemungutan, Dan Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Mineral dan Batubara.
"Kami APBI telah mengajukan surat permohonan ke Menteri ESDM minta dukungan agar perusahaan bisa survive di masa Pandemi pemerintah merevisi sementara beleid itu sampai kondisi kembali normal," ucap Hendra.
Adapun, revisi yang diusulkan berupa perubahan formula penghitungan royalti untuk sementara dimana pembayaran royalti ke pemerintah menggunakan harga jual aktual dimana umumnya menggunakan index-linked.
"Jadi bukan dengan sistem sekarang yaitu menggunakan Harga Patokan Batubara (HPB), karena trend harga yang terus menurun akibat oversupply. Perusahaan menanggung beban keuangan yang berat karena HPB lebih tinggi dari harga jual aktual, bahkan ada yang bisa mencapai US$5 per ton," jelasnya.
Selain itu, APBI juga mengusulkan adanya revisi sementara Kepmen terkait sistem pembayaran royalti agar dapat dilakukan paling tidak sebulan sesudah pengapalan. Pasalnya, dalam beleid itu diatur pembayaran royalti dilakukan sebelum pengapalan.
"Perusahaan juga kesulitan cash flow karena pembayaran royalti harus disetor sebelum pengapalan, sedangkan sebelumnya penyetoran royalti ke negara bisa dilakukan 1 bulan setelah pengapalan. Paling tidak yang diharapkan oleh pelaku usaha agar relaksasi aturan ini berlaku untuk sementara sekitar 6 bulan agar perusahaan bisa survive di tengah Pandemi covid-19," ungkapnya.