Bisnis.com, JAKARTA - Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan dimulainya protokol normal baru (new normal) dibutuhkan untuk menjaga perekonomian, khususnya kelompok ekonomi rentan yang didominasi pekerja dan pengusaha sektor informal
Meski begitu, tren pertambahan harian kasus baru di Indonesia yang tidak kunjung turun membuat keputusan ini perlu ditinjau dengan lebih hati-hati.
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Ega Kurnia Yazid mengatakan sebagian besar provinsi di Indonesia masih berada di posisi berisiko untuk pelonggaran PSBB. Hasil tersebut didapat menggunakan data penyebaran kasus, kapasitas kesehatan, dan kapasitas fiskal daerah yang kemudian dipetakan pada matriks respons McKinsey.
"Pengecualian untuk Jawa Barat dan DKI yang memiliki tingkat penyebaran relatif lebih baik dibandingkan provinsi lain," katanya dalam riset CSIS berjudul "Mengawal Kesiapan Relaksasi PSBB dan Pemulihan Ekonomi Daerah di Masa Covid-19", Kamis (4/6/2020).
Meski demikian, pengecualian tersebut dapat dilakukan dengan catatan kedua provinsi itu perlu menjaga tingkat reproduksi efektifnya (Rt) berada di bawah 1 untuk kurun waktu dua minggu sebagaimana anjuran World Health Organization (WHO).
Artinya, kata dia, DKI Jakarta dan Jawa Barat perlu menjaga Rt paling tidak 1-2 minggu sampai benar-benar cukup terkendali untuk melakukan relaksasi PSBB dan protokol new normal secara bertahap.
"Jika prasyarat tersebut tercapai, maka relaksasi bertahap PSBB dikatakan aman dilaksanakan dengan memastikan protokol kesehatan dilaksanakan secara maksimal," ucapnya.
Egi menambahkan ruang fiskal daerah yang ada digunakan untuk meningkatkan kapasitas kesehatan di masing-masing wilayah. Sebagaimana pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang mengemukakan bahwa PSBB memiliki konsekuensi ekonomi lebih berat bagi kelompok ekonomi menengah rentan hingga miskin.
Terutama bagi pekerja dan/atau pengusaha di sektor informal, termasuk pengemudi ojek daring ikut terdampak. Selain itu, sektor yang padat kontak (contact-intensive) seperti industri tekstil, retail, hingga industri pariwisata sudah menunjukkan adanya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat aktivitas ekonominya yang terbatas.
"Pelonggaran PSBB sesegera mungkin ketika kondisi membaik merupakan langkah penting untuk memulihkan ekonomi lebih cepat," jelasnya.
Namun, keputusan relaksasi PSBB perlu ditinjau matang-matang mengingat adanya risiko gelombang kedua (second wave). Seperti tantangan yang dihadapi China yang lebih dulu telah berhasil menekan penyebaran virus.
Adapun hal-hal yang dapat dijadikan referensi dari negara-negara yang telah lebih dulu melakukan pemulihan ekonomi dan menyelesaikan masa pembatasan sosialnya (containment) seperti Thailand, Malaysia, China, Vietnam, Selandia Baru, Austria, Italia, Jerman dan beberapa negara lainnya sudah memulai relaksasi ekonomi.
Pertama, sudah melewati fase puncak COVID-19 ditandai dengan kasus harian yang semakin menurun dan bahkan beberapa negara telah menyentuh angka nol untuk penambahan kasus hariannya.
Kedua, angka kematian harian mengalami tren penurunan sementara angka kesembuhan harian mengalami tren kenaikan, ada perbaikan dalam sistem pelayanan dan kapasitas kesehatan. Ketiga, kapasitas tes harian yang memadai dan semakin masif dilihat dari tren kenaikan tren tes harian.
"Terakhir, jika dilihat dari kapasitas tempat tidur per 1.000 penduduk negara-negara tersebut mempunyai kapasitas yang cukup memadai," katanya.