Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waspada Beban Bunga Utang 2023

Akibat pelebaran defisit pada APBN 2020 hingga Rp1.028,5 atau 6,27 persen dari PDB yang diikuti kenaikan pembiayaan utang neto hingga Rp1.206,9 triliun, maka beban bunga utang pada belanja negara ke depan memiliki tendensi untuk meningkat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama dengan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama dengan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah perlu mewaspadai beban anggaran yang membayangi APBN pada 2023 mendatang.

Pelebaran defisit APBN 2020 menjadi Rp1.028,5 atau 6,27 persen dari PDB dan pembiayaan utang neto yang meningkat hingga Rp1.206,9 triliun dapat memicu beban bunga utang pada belanja negara ke depan memiliki tendensi untuk meningkat.

Tahun ini, belanja bunga utang diproyeksikan mencapai Rp338,8 triliun, sedangkan pendapatan negara terpangkas dari Rp2.233,2 triliun pada rancangan awal menjadi tinggal Rp1.691,6 triliun pada outlook APBN 2020 terbaru.

Dengan demikian, rasio bunga utang terhadap pendapatan negara sudah mencapai 20 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pada 2019, rasio belanja bunga utang terhadap pendapatan negara masih sebesar 14,07 persen dengan pendapatan negara yang mencapai Rp1.957,2 triliun dan belanja bunga utang yang mencapai Rp275,5 triliun.

Apabila ditarik lebih ke belakang hingga 2015, saat itu rasio belanja bunga utang terhadap pendapatan negara masih rendah di level 10,43 persen. 

Tren ini menunjukkan bahwa kemampuan penerimaan negara dalam mendanai pembayaran bunga utang dari tahun ke tahun terus berkurang.

Ancaman belanja bunga utang semakin bisa terlihat pada 2023 mendatang dimana defisit anggaran sudah harus kembali di bawah 3 persen dari PDB sesuai dengan batasan pada UU Keuangan Negara.

Utang yang ditarik oleh pemerintah pada 2020 untuk menanggulangi dampak Covid-19 dan pada 2021 serta 2022 untuk memulihkan perekonomian bakal terakumulasi menjadi bunga utang yang harus dibayarkan pada tahun-tahun ke depan.

Hal ini pun nampak pada proyeksi rasio utang terhadap PDB yang pada 2023 diproyeksikan mencapai 37,3-38,3 persen dari PDB, meningkat drastis dari rasio utang terhadap PDB pada 2019 lalu yang hanya 30,2 persen dari PDB. Namun, defisit anggaran sudah diproyeksikan untuk kembali ke level 2,4-2,7 persen dari PDB.

Dengan defisit anggaran yang harus kembali di bawah 3 persen dari PDB pada 2023 mendatang, pemerintah tidak bisa lagi menarik utang melebihi batas UU Keuangan Negara dalam rangka menggenjot belanja untuk menstimulus perekonomian. Artinya, belanja bunga utang dapat menjadi pembeban belanja pemerintah pada 2023 mendatang.

Pada tahun 2019 saja, peranan belanja bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat mencapai 16,8 persen, lebih tinggi dibandingkan peranan belanja bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat pada 2015 yang sebesar 13,1 persen.

Dengan ini, nampak bahwa peranan belanja selain bunga utang yang dialokasikan baik kepada kementerian dan lembaga (K/L) untuk mendanai berbagai program milik K/L atau belanja non-K/L seperti subsidi perlahan-lahan makin tergerus proporsinya akibat bunga utang.

Masalah ini bisa saja dihindari pada tahun 2021 dan 2022 karena pada kedua tahun tersebut defisit anggaran masih boleh diperlebar di atas 3 persen dari PDB. Pemerintah masih bebas untuk menarik utang dalam rangka membiayai defisit anggaran dan belanja pada tahun tersebut.

Pada 2023, hal ini sudah tidak dimungkinkan lagi karena defisit anggaran sudah harus kembali sejalan dengan UU Keuangan Negara.

Pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2021 pun sudah menyadari keberadaan ancaman bunga utang ini. Pemerintah menuliskan risiko beban pembayaran bunga utang tetap terkendali agar keberlanjutan fiskal jangka pendek dan jangka panjang tidak terganggu.

Ketika ditanya, pihak Badan Kebijakan Fiskal (BKF) masih belum merespon mengenai langkah apa yang akan diambil agar tekanan belanja bunga utang pada anggaran 2023 mendatang bisa diminimalisir dan tidak mengganggu ekspansi fiskal.

Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan satu-satunya cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah peningkatan rasio perpajakan, tidak ada cara lain.

Dari tahun ke tahun, PDB nominal tercatat mampu tumbuh di angka 8-9 persen per tahun sedangkan penerimaan perpajakan hanya mampu tumbuh 1 persen dengan rasio perpajakan yang terus melorot.

"Ekonomi bisa tumbuh 8 persen lebih sedangkan pajak hanya tumbuh 1 persen, artinya kemampuan mengkumpulkan pajak turun," kata Rizal, Rabu (27/5/2020).

Tahun lalu saja, penerimaan perpajakan hanya mampu tumbuh sebesar 1,8 persen (yoy) dengan realisasi sebesar Rp1.546,1 triliun dan rasio perpajakan sebesar 9,76 persen.

Dibandingkan 2015, penerimaan perpajakan kala itu memang masih sebesar Rp1.240,4 triliun. Namun, pertumbuhan penerimaan perpajakan mencapai 8,2 persen (yoy) dengan rasio perpajakan mencapai 10,76 persen.

Dengan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani memiliki dua PR besar hingga 2023 yakni memulihkan kembali pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemampuan negara dalam mengumpulkan pajak.

"Untuk sekarang pemerintah hanya pemulihan dulu fokusnya. Bila ekonominya sudah berjalan, kemampuan mengumpulkan pajak harus dibenahi. Kalau tidak [masalah fiskal] akan berkepanjangan," kata Rizal.

Dalam melaksanakan reformasi perpajakan, pemerintah tidak boleh lagi mengulangi kecelakaan tax amnesty yang hanya membantu penerimaan perpajakan tahun itu dan sama sekali tidak memberi dampak pada kinerja penerimaan perpajakan tahun-tahun selanjutnya.

Jika tidak ada reformasi yang jelas dari sisi perpajakan dan anggaran secara keseluruhan, maka pemerintah hanya menunda-nunda masalah fiskal dan akan terus terakumulasi hingga tahun-tahun ke depan. Ini akan terpampang jelas dalam APBN di masa yang akan datang. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhamad Wildan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper