Bisnis.com, JAKARTA - Utilitas industri keramik hingga Rabu (27/5/2020) diperkirakan kembali turun ke level 30 persen. Angka tersebut turun 500 basis poin (bps) dari realisasi awal Mei 2020 di posisi 35 persen.
Secara umum utilitas sebuah pabrik minimal berada di posisi 40 persen agar bisa menutupi biaya tetap atai fixed costu seperti bahan baku, tenaga kerja, dan biaya operasional.
"Yang kami butuhkan stimulus pemerintah yang sudah diberikan [yaitu penurunan harga gas]. Saat ini kami masih membayar tarif gas yang mahal.," ujar Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik (Asaki) Edy Suyanto kepada Bisnis, Rabu (27/5/2020).
Edy menyatakan saat ini pabrikan keramik di Jawa Barat masih membayar tarif gas di level US$9,1/mmBTU, sedangkan di Jawa TImur di posisi US$7,98/mmBTU. Adapun, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 98/2020 yang mewajibakn penurunan tarif gas ke level US6/mmBTU paling lambat dilaksanakan pada 13 Mei 2020.
Menurutnya, pengetatan arus kas pada industri keramik membuat 15.000 tenaga kerja di pabrikan harus dirumahkan, Secara total, lanjutnya, tenaga kerja di Industrri keramik mencapai 150.000 orang.
Dia melanjutkanya, sebagian besar tenaga kerja yang dirumahkan berasal dari pabrikan keramik. Seperti diketahui, industri keramik terbagi berdasarkan produk yang dihasilkan kedalam empat kelompok, yakni keramik, tableware, rooftile, dan sanitary.
Baca Juga
Edy menyampaikan tenaga kerja yang dirumahkan tersebut dijadwalkan akan kembali ke pabrik pada 15 Juni setelah adanya relaksasi protokol pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Namun demikian, lanjutnya, akan ada penambahan perumahan tenaga kerja jika PSBB kembali diperpanjang.
Edy menilai arus kas pabrikan saat ini hanya dapat bertahan hingga awal kuartal III/2020. Dengan kata lain, lanjutnya, pabrikan akan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara bertahap mulai Agustus 2020 jika keadaan tidak berubah.
"Kemungkinan PHK bertahap itu tidak bisa diabaikan. Kalau itu [penurunan tarif gas] tidak dilakukan, PHK bertahap tidak bisa dihindari," ucapnya.
Oleh karena itu, Edy meminta agar pemangku kepentingan menurunkan tarif gas sebelum akhir Mei 2020. Menurutnya, hal tersebut akan mengubah tarif gas yang harus dibayarkan pabrikan pada awal Juni 2020.
Selain itu, Edy juga meminta agar PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan pelaku industri gas lainnya memperpanjang waktu grace periode penggunaan minimum gas hingga Juli 2020. Sebelumnya, PGN dan pelaku industri gas lainnya telah memberikan garace periode penggunaan minmum gas selama April-Mei 2020.
"Ini kan force major. Kami tidak minta sampai akhir tahun. Secara resmi, kami hanya minta [perpanjangan grace periode penggunaan minimum gas] 2 bulan, yaitu sampai Juli," katanya.
Seperti diberitakan Bisnis, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah membagikan alokasi gas untuk industri tertentu. Adapun, 1.227 bbtud gas akan dialokasikan untuk industri tertentu baik langsung diserap dari hulu maupun melalui badan usaha.
Dari total tersebut, industri pupuk menyerap langsung alokasi gas dari hulu sebesar 784,46 bbtud, industri baja menyerap 10 bbtud gas langsung dari hulu. Sementara itu, 384 bbtud alokasi gas diserap melalui PGN, sedangkan 73,33 bbtud melalui Pertagas dan 31,5 bbtud melalui badan usaha lain.
Sementara itu, alokasi gas sebesar 1.396 bbtud dialokasikan untuk kebutuhan pembangkit listrik milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dari jumlah tersebut, sebesar 442,6 bbtud diserap dari gas pipa langsung dari hulu dan 345 bbtud diserap dari LNG langsung dari hulu.
Selain itu, 101 bbtud diserap melalui badan usaha lain, 315 bbtud melalui PGN, dan selebihnya diserap melalui Pertamina (non PGN) dengan perincian 22 bbtud dari gas pipa dan 171 bbtud dari LNG.