Bisnis.com, JAKARTA — Realisasi tertinggi penyerapan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau rumah subsidi rata-rata setiap tahunnya diserap oleh Provinsi Jawa Barat.
Sepanjang 3 bulan pertama ini, Provinsi Jawa Barat juga mencetak pemanfatan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lain. Berdasarkan data Bank Indonesia, Jabar merealisasikan 8.971 unit rumah dengan nilai Rp936 miliar.
Adapun, posisi selanjutnya setelah Jabar adalah Jawa Timur dengan 2.050 unit sebesar Rp194 miliar, Banten 1.956 unit sebesar Rp199 miliar dan Kalimantan Selatan 1.437 rumah dengan nilai Rp147 miliar.
Sementara itu, Provinsi Maluku berada di urutan paling paling buncit dengan realisasi hanya 11 unit sebesar Rp1,2 miliar. Sepanjang tahun lalu, realisasi FLPP di Maluku juga hanya 24 unit rumah dengan nilai Rp2,5 miliar.
Ketua DPD Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia Jabar Joko Suranto memaparkan alasan realisasi Jabar kerap selalu tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. Setidaknya ada empat alasan yang melatarbelakanginya.
Pertama, lantaran jumlah penduduk Jabar paling tinggi secara nasional.
Baca Juga
Kedua, pertumbuhan ekonominya pun tinggi.
Ketiga, didukung oleh aktivitas manufaktur paling banyak.
Keempat, kurva permintaan juga cukup besar sehingga pasokannya pun terdongkrak.
"Namun, sebetulnya angka 8.000-an unit itu masih kecil. Jabar itu per tahun bisa 35.000 sampai 45.000 unit. Angka 8.000-an itu masih minus secara year-on-year," katanya kepada Bisnis, Jumat (15/5/2020).
Selain itu, Joko juga mengatakan bahwa angka kekurang pasokan perumahan di wilayah itu juga paling besar mencapai sekitar 4 juta sampai 5 juta. Permintaan rumah paling tinggi berada di daerah Bogor, Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan Bandung.
Joko mengemuakan bahwa pihaknya meragukan realisasi target pemenuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar 37.000 unit tahun ini akan tercapai. Masalahnya, daya beli masyarakat tengah menurun akibat virus corona baru (Covid-19).
"Sampai akhir tahun pasti rendah karena adanya cakupan pembatasan [penerima KPR dari bank]. Bank semakin ketat juga, itu yang kami sayangkan selain daya beli yang menurun," katanya.
Untuk itu, dia berharap agar ada kebijakan yang tepat untuk mengakselerasi realisasi KPR di lapangan. Apalagi, kondisi pengembang MBR saat ini terimpit akibat penjualan yang menurun.