Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi Filipina menghadapi kontraksi terdalam sejak lebih dari tiga dekade terakhir akibat pandemi virus corona.
Dilansir dari Bloomberg, Development Budget Coordination Committee memproyeksikan produk domestik bruto menurun 2 hingga 3,4 persen tahun ini dan akan menelan biaya 2 triliun peso (US$40 miliar) tahun ini atau hampir sepersepuluh dari produk domestik bruto untuk penanganan wabah virus corona.
Pengeluaran besar-besaran akan membuat defisit anggaran membengkak hingga 8,1 persen dari PDB. Sementara itu, komite pemerintah Filipina tersebut memproyeksikan PDB akan kembali tumbuh 7,1-8,1 persen pada tahun 2021.
Filipina, yang merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di regional, merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang menutup sebagian besar ekonominya sejak pertengahan Maret.
Pembatasan tersebut membuat PDB dalam tiga bulan pertama 2020 terkontraksi 0,2 persen dan pemerintah memperkirakan penurunan lebih dalam pada kuartal II/2020.
Presiden Rodrigo Duterte secara bertahap akan membuka kembali perekonomian karena negara tidak mampu berada dalam karantina untuk jangka waktu yang lama. Pelonggaran ini akan membuat sejumlah bisnis memulai kembali aktivitasnya setelah 15 Mei, bahkan di wilayah ibukota yang memiliki angka infeksi paling banyak.
Baca Juga
Perkiraan PDB terbaru lebih rendah dari proyeksi Menteri Keuangan Carlos Dominguez pekan lalu yang memprediksi kontraksi sebesar 1 persen. Kontraksi yang mencapai 2 persen akan menjadi yang terdalam sejak penurunan 7,3 persen pada tahun 1985, menurut data Bloomberg.
"Walaupun itu adalah revisi yang signifikan, saya pikir kisaran perkiraan mungkin masih terpengaruh pada risiko penurunan mengingat perlunya kehati-hatian dalam membuka kembali perekonomian," kata Euben Paraculles, ekonom di Nomura Holdings Inc., seperti dikutip Bloomberg.
“Pelonggaran fiskal skala besar juga sangat dibutuhkan tetapi sayangnya waktu untuk menyepakati paket dukungan yang cukup besar ini masih belum jelas,” lanjutnya.