Bisnis.com, JAKARTA – PT Pertamina EP menyatakan masih bisa untuk dengan harga minyak mentah Indonesia atau ICP yang menyentuh US$20 per barel.
Direktur Utama Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan rendahnya harga ICP diakui akan berdampak pada kinerja perseroan.
Kendati demikian, dia menyatakan Pertamina EP masih bisa mencetak profit di tengah kondisi tersebut dengan cara efisiensi besar-besaran.
"Beberapa kontrak ditinjau lagi dan minta negosiasi harga lagi. Investasi akan lebih selektif," katanya kepada Bisnis, Rabu (6/5/2020).
Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, Pertamina EP telah mengantongi laba senilai US$169 juta.
Raihan tersebut meningkat tipis sekitar 1 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai US$167 juta.
Baca Juga
Nanang mengatakan bahwa torehan laba tersebut ditopang oleh pendapatan senilai US$640 juta, lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu US$693 juta.
Terkoreksinya pendapatan tahun ini, kata Nanang, disebabkan oleh turunnya rata-rata harga minyak dan gas pada kuartal I/2020.
Harga minyak tercatat anjlok dibandingkan dengan rata-rata harga minyak periode yang sama 2019 yang masih di atas kisaran US$60 per barel.
"Rata-rata harga minyak pada kuartal I tahun ini sebesar US$50,66 per barel dan gas sebesar US$6,01 per MMBTU,” katanya dalam keterangan resminya, Rabu (29/4/2020).
Adapun, PT Pertamina (Persero) memotong anggaran belanja modal (capex) sebesar 23 persen dan 30 persen anggaran operasional (opex).
Nanang mengatakan, skenario tersebut sudah mulai diterapkan guna menyiasati rendahnya harga minyak mentah.
"Mulai diterapkan, khususnya opex sambil memperhatkan fluktuasi harga minyak ke depan," jelasnya.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, ICP pada level US$20 per barel untuk sebagian KKKS masih masuk dalam nilai keekonomian, tetapi ada juga yang tidak.
Menurut dia, untuk menghitung keekonomian bisnis tidak hanya tercermin berdasarkan dengan harga per bulannya, melainkan rata-rata harga selama setahun.
"Bahwa sekarang dengan harga rendah maka menjadi berat bagi semua pihak, ya memang sedang seperti itu semua keadaannya," katanya kepada Bisnis, Rabu (6/5/2020).
Dia memproyeksikan, ICP akan merangkak naik apabila terjadi pemulihan dampak Covid-19 secara global. Pasalnya, referensi ICP salah satunya adalah harga minya Brent.
"Kisaran US$30-US$40 per barel di paruh kedua, termasuk sudah bagus. Tapi mesti siap juga dengan skenario US$20-US$30," jelasnya.