Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah perlu memberikan perlindungan bagi pekerja migran yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan.
Hal ini seiring dengan beredarnya video di media sosial yang menggambarkan penderitaan para pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK (Anak Buah Kapal) dikapal pencari ikan Long Xin 605, Long Xin 629 dan Tian Yu 8 (semua berbendera Republik Rakyat Tiongkok) yang beroperasi berpindah-pindah tempat melintas negara.
Dalam video tersebut, apa yang dialami oleh para ABK Indonesia tersebut adalah bentuk dari kelanggaran hak asasi manusia dimana mereka terenggut kebebasannya, bekerja dalam kondisi tidak layak, tidak mendapatkan hak atas informasi, hingga hak yang paling dasar yaitu hak atas hidup pun terenggut.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo meminta pemerintah memberikan perlindungan bagi para pekerja migran yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan alias ABK.
“Kondisi ini makin memperlihatkan kondisi pekerja migran Indonesia, terutama yang bekerja di sektor kelautan, berwajah muram,” kata Wahyu, Kamis (7/5/2020).
Sebelum kasus ini beredar, Migrant CARE menyebut pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal-kapal pesiar juga menjadi korban penularan Covid-19, baik tertular penyakitnya maupun kehilangan pekerjaannya.
Baca Juga
Wahyu mengatakan bahkan menurut catatan BP2MI, sudah lebih dari 6000 ABK mengalami pemutusan hubungan kerja.
Kerentanan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan memang bukan hal yang baru. Dalam Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free tahun 2014-2016 (dimana Migrant CARE menjadi bagian dari inisiatif ini) juga menempatkan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan (terutama sebagai ABK di kapal pencari ikan) sebagai praktek perbudakan modern yang terburuk.
Dalam pemeringkatan ini, terhitung ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berada dalam perangkap perbudakan modern. Jika kondisi tersebut masih berlangsung sampai sekarang, maka situasi memang belum berubah dan ini tentu sangat menyedihkan.
“Pemerintah Indonesia pernah terlibat dalam upaya memerangi perbudakan di sektor kelautan, terutama pada era [kepemimpinan] Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudiastuti. Namun inisiatif tersebut lebih banyak menyangkut soal praktek ini di perairan Indonesia, dipicu kasus perbudakan di kapal ikan di perairan Benjina, kepulauan Maluku,” katanya.
Di samping itu, upaya yang dilakukan oleh Kementerian KKP itu juga tidak meluas pada nasib pekerja migran Indonesia sebagai ABK di kapal-kapal pencari ikan berbendera asing yang beroperasi melintas negara.
Dengan begitu, imbuhnya, inisiatif itu pun tidak mendapat dukungan signifikan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan atau BP2MI.
Wahyu menambahkan, dalam perkara ini Kementerian Luar Negeri juga mengalami kesulitan dalam penanganan kasus terkait juridiksi perkara.
“Bisa dibayangkan jika kasus terjadi di kapal pencari ikan berbendera A, pemiliknya adalah warga negara B dan kasusnya terjadi di lautan dalam otoritas negara C atau di laut bebas. Namun apapun situasinya seharusnya negara hadir dalam memberikan perlindungan terhadap anak buah kapal Indonesia.”
Menurutnya, kerentanan para pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan juga dipicu oleh ketiadaan instrumen perlindungan yang memadai sebagai payung perlindungan bagi mereka.
Walaupun UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai Pelindungan Pekerja Migran Di sektor Kelautan dan Perikanan, namun hingga saat ini aturan turunan tersebut belum terbit.