Bisnis.com, JAKARTA - Industriawan menilai rendahnya utilitas pabrikan pada April 2020 akan terus berlanjut pada bulan ini. Sebagian sektor bahkan menilai utilitas pabrikan akan tetap rendah setelah Lebaran.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendata 43 pabrikan telah menghentikan proses produksinya pada awal Mei 2020. Adapun, 48 pabrikan menyatakan telah menurunkan utilitas produksi lebih dari 50 persen.
"Kondisi minggu ini sudah makin parah dari itu. Minggu ini makin menurun kondisinya," kata Sekretaris Jenderal API Rizal Rakhman kepada Bisnis, Senin (5/4/2020).
Rizal melanjutkan secara presentase pabrikan yang menghentikan proses produksi di dalam negeri mencapai 30,5 persen dari total pabrikan yang tergabung dalam asosiasi. Sementara itu, sebanyak 17,7 persen anggota menyatakan telah menurunkan utilitas produksi sebanyak 50-70 persen.
Rizal mendata pabrikan yang menurunkan utilitas produksi kurang dari 20 persen hanya 18 unit, sedangkan yang mencapai 30 persen sekitar 20 pabrikan.
Dia sebelumnya mengatakan sebagian pabrikan garmen yang memproduksi alat pelindung diri (APD) maupun masker berstandar medis bukan mengalihkan lini produksi, tetapi melakukan diversifikasi produksi. Selain itu, hanya 3 persen pabrikan dari total pabrikan garmen nasional yang mampu melakukan diversifikasi tersebut.
Baca Juga
Rizal menambahkan perpindahan pasar konvensional ke daring tidak berdampak pada proses produksi industri garmen. Pasalnya, pabrikan tetap harus melihat fisik bahan baku yang akan digunakan sebelum masuk ke proses produksi.
Maka dari itu, Rizal meramalkan rata-rata arus kas pabrikan garmen nasional hanya akan bertahan paling lambat pada akhir semester I/2020. Dengan kata lain, proses penghentian produksi industri garmen akan memuncak pada akhir semester I/2020.
Secara nasional, Rizal mendata utilitas pabrikan tekstil dan produk tekstil (TPT) berada di level 30 persen. Seperti diketahui, industri TPT merupakan sektor manufaktur dengan struktur industri yang terdalam di dalam negeri.
"Kalau supply chain terganggu, pasti mempengaruhi [proses produksi industri garmen]," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Ismail Mandry menambahkan dengan penurunan kapasitas produksi tersebut utilisasi industri baja saat ini sudah berkisar 20-30 persen dari sekitar 50-40 persen sebelum Covid-19. Langkah pengurangan karyawan oleh sejumlah perusahaan pun tidak terelakkan.
"Kami seperti sektor yang lain juga terpukul karena pelemahan ekonomi akibat Covid-19. Paling tidak hanya sampai Juni ketahanan perusahaan akan dipertaruhkan. Selanjutnya, jika Covid-19 berlanjut tinggal keputusan masing-masing," ujarnya.
Ismail juga menegaskan tidak bisa serta merta meminta industri bangkit dengan direalisasikannya harga gas tertentu. Menurutnya, soal harga gas industri sudah menunggu sejak lama dan saat ini ada kondisi yang berbeda.
Dia pun mengemukakan latar belakang industri pada 2015 sangat kuat ingin harga gas di Indonesia turun karena kondisi harga minyak dan gas dunia kala itu memang sedang turun. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia harganya sangat tinggi.
Terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan ada penurunan serapan produk makanan dan minuman (mamin) di pasar. Adhi meramalkan penuruan serapan tersebut akan berlanjut hingga Lebaran. "Karena tidak ada kenaikan permintaan."