Bisnis.com, JAKARTA - Pendapatan negara dinilai akan mengalami penurunan drastis hingga hanya Rp1.650 triliun akibat pandemi virus Corona.
Di sisi lain, belanja negara membengkak guna memberi stimulus ekonomi dengan pembengkakan hingga Rp2.600 triliun.
Ekonom Senior Institut Harkat Negeri Awalil Rizky mengatakan pemerintah menghadapi masalah fiskal yang cukup serius dalam penanganan penyebaran Covid-19.
Setidaknya berdasarkan hitungannya, pemerintah membutuhkan tambahan utang Rp1.000 triliun - Rp1.100 triliun untuk menutup beban fiskal ini.
"Pemerintah ini satu-satunya peluang yang dengan berutang, hal ini justified [dibenarkan], artinya terlepas dari perdebatan apapun, semua negara melakukan tambahan utang," ujar Awalil, Sabtu (2/5/2020).
Namun, pemerintah harus berhati-hati memperhitungkan dan mengontrol besaran tambahan tersebut agar tidak menimbulkan masalah pada tahun-tahun mendatang.
Baca Juga
Berdasarkan data APBN 2020, semula rencana tambahan utang pada 2020 ini sebesar Rp359,1 triliun.
Tetapi dengan terjadinya pandemi virus Corona ini, pemerintah mengubahnya dalam bentuk outlook tambahan utang sebesar Rp1.006,4 triliun.
Dengan demikian, akan ada beban tambahan akumulasi utang menjadi sebanyak Rp6.080 triliun karena posisi utang pada awal Januari 2020 sebesar Rp4.779 triliun dengan asumsi kurs Rp16.000 atau rasio terhadap PDB menjadi 37,65 persen.
"Kalau kurs lebih tinggi, maka utang menjadi lebih tinggi karena ada berkisar 38 persen utang dalam bentuk valuta asing," imbuhnya.
Awalil mengatakan pendapatan negara yang turun drastis tersebut dipicu oleh penurunan pendapatan perpajakan tahun yang diperkirakan hanya sekitar Rp1.400 triliun, dari rencana awal Rp2.000 triliun.
Selain itu, penurunan penerimaan juga disumbang oleh penurunan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) akibat lesunya sektor migas dan ril akibat pandemi dan turunnya harga minyak.
Di sisi lain, belanja pemerintah membengkak walaupun dilakukan efisiensi belanja masing-masing Kementerian/Lembaga rata-rata 15-20 persen. Pasalnya, belanja berupa stimulus ekonomi berpotensi membengkak.
Saat ini, pemerintah menggelontorkan dana mencapai Rp 405,1 triliun yang akan digunakan untuk dana kesehatan sebesar Rp 75 triliun, Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial atau safety net (SSN), Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan.
Dana tersebut termasuk Rp 150 triliun yang nantinya akan dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan usaha.
"Dengan begitu, ketika ada usulan-usulan baru pemerintah melakukan berbagai hal tentu akan berdampak fiskal, sementara kondisi fiskal saat ini sudah terlalu berat," ujarnya.