Bisnis.com, JAKARTA – Kondisi keuangan PT Freeport Indonesia tengah mengalami arus kas di posisi negatif.
Direktur Utama PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan kondisi cashflow perusahaan berada di posisi negatif karena fokus menyalurkan dana investasi untuk pengembangan tambang bawah tanah (underground mine).
Seperti diketahui, PTFI mengalihkan penambangan dari tambang terbuka (open pit) Grasberg open pit ke tambang bawah tanah (underground) yaitu DOZ Block Cave dan Grasberg Block Cave.
Dalam catatan Bisnis, sejak 1972 hingga 2018, PTFI telah mengucurkan investasi tambang senilai US$15,8 miliar. PTFI akan mengucurkan US$15,1 miliar dari tahun 2019 hingga 2041 untuk pengembangan tambang bawah tanah hingga Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PTFI berakhir.
Untuk tambang bawah tanah, PTFI telah mengucurkan sebesar US$6 miliar hingga US$7 miliar sejak mulai dibangun pada tahun 2004.
"Sekarang cashflow kami negatif karena banyak investasi di tambang bawah tanah," ujarnya dalam media briefinv terbatas secara virtual, Selasa (28/4/2020).
Baca Juga
Namun demikian, Tony tak merinci detail kondisi keuangan PTFI saat ini yang disebut berada dalam posisi negatif.
Apabila PTFI mengajukan utang ke induk usaha Freeport MacMoran (FCX) maupun ke kalangan perbankan, kewajiban pembayaraan utang maupun pembiayaan proyek tersebut merupakan tanggung jawab PTFI.
Utang yang ditanggung tak akan memberatkan para pemegang saham termasuk holding pertambangan BUMN PT Inalum (Persero) atau MIND ID yang sejak 21 Desember 2018 berhasil menggenggam saham PTFI sebesar 51,23 persen.
"Kami juga kan pinjam uang. Kami akan kembalikan lagi segera pada saat cashflow sudah positif. Yang akan membiayai ujungnya adalah PTFI," katanya.
Perusahaan pun enggan berkomentar terkait induk usaha yakni Freeport McMoran yang mengajukan penawaran surat utang hingga US$2,5 miliar untuk mendanai pengembangan proyek tambang bawah tanah di Indonesia melalui PTFI.
"Kalau dari FCX kami tidak bisa berkomentar. Bisa tanyakan langsung ke FCX nya," ucap Tony.
Hingga saat ini, lanjutnya, produksi dan penjualan PTFI tetap berjalan sesuai rencana.
"Penjualan berjalan sesuai target. Pembeli kami masih tetap produksi dan membeli konsentrat dari kami," ucapnya.
Berdasarkan laporan operasi dan keuangan kuartal I tahun 2020, Freeport-McMoRan Inc., produksi tembaga Freeport Indonesia sepanjang periode Januari hingga Maret 2020 sebanyak 127 juta pon.
Jumlah tersebut menurun 21 persen dari realisasi periode yang sama 2019 sebanyak 174 juta pon. Penurunan juga terjadi pada produksi emas Freeport Indonesia kuartal I/2020 tercatat sebanyak 139.000 ounces, merosot tajam sebesar 40,85 persen dari realisasi produksi pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 235.000 ounces.
PTFI menurunkan target penjualan tembaga sebesar 1 persen menjadi 742 juta pon sepanjang tahun ini dari target awal sebanyak 750 juta pon. Lalu untuk target penjualan emas tak mengalami penurunan atau tetap sebesar 775.000 ounces.
Sepanjang tahun ini, produksi bijih dari tambang bawah tanah PTFI belum begitu optimal. Produksi bijih baru akan naik menjadi 75 persen—80 persen dari kapasitas produksi pada 2021. Lalu produksi akan kembali stabil ke posisi 210.000 ton bijih per hari atau 100 persen mulai 2022.
PTFI terus meningkatkan tingkat produksi dan menargetkan dapat memproduksi tembaga sebanyak 1,4 miliar pon dan 1,4 juta ons emas pada 2021. Lalu ditargetkan penjualan mencapai puncak tertinggi pada 2023 yaitu untuk tembaga sebesar 1,7 miliar pon dan emas mencapai 1,8 juta ounces.
Sementara itu, President & Chief Executive Officer Freeport McMoran Richard Adkerson menuturkan Freeport McMoran telah menawarkan surat utang yang laku hingga US$2,5 miliar untuk mendanai proyek tambang bawah tanah di Indonesia melalui PT Freeport Indonesia. Pihaknya mengaku telah berdiskusi dengan perbankan untuk mengubah perjanjian utang menjadi lebih fleksibel selama peningkatan produksi dari Grasberg.
"Dalam beberapa bulan terakhir, kami juga telah menawarkan surat utang dengan perolehan dana US$2,5 miliar dalam jangka waktu panjang dan bunga yang menarik, yang kami gunakan untuk refinancing utang jatuh tempo," ujarnya dalam conference call yang dilaksanakan akhir pekan lalu.
Dia menambahkan anggaran untuk menggarap tambang bawah ini sesuai rencana awal sebelum terjadi pandemi Covid-19. Hal ini karena pihaknya berhasil mengurangi utang hingga hanya setengah dari besaran di 2016.
"Untuk tambang bawah tanah di tahun lalu, telah memperpanjang jangka waktu utangnya sebesar US$3,5 miliar hingga 2024," tuturnya.
Saat ini, pihaknya tak memiliki utang jangka pendek yang jatuh tempo. Selain dari pendanaan bank dan surat utang, pembiayaan proyek tambang bawah tanah menggunakan kas yang dihasilkan oleh PTFI.
Adapun investasi untuk pengembangan tambang bawah tanah ini direncanakan sebesar US$800 juta untuk setiap tahunnya selama tahun 2020 hingga 2022.
"Ini tidak termasuk kontribusi dari PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero)," ucap Richard.
Terpisah, saat dikonfirmasi Bisnis, Direktur Utama PT Inalum (Persero) Orias Petrus Moedak tak merespon perihal surat utang tersebut.