Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha menilai potensi penurunan nilai investasi pada tahun ini bisa lebih besar dibandingkan dengan proyeksi awal yang diperkirakan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Adapun sebelumnya, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia memproyeksikan realisasi investasi pada tahun ini bisa meleset hingga Rp69,1 triliun dari target Rp886,1 triliun. Kondisi itu bisa terjadi apabila pandemi corona tidak segera usai pada Mei.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengaku ragu dengan target BKPM tersebut. Dia mengatakan sektor bisnis yang masih melanjutkan investasi pun diyakininya tidak akan banyak pada tahun ini.
"Kalau ini untuk rencana 2020, saya lihat [target BKPM] terlalu optimistis. Saya tidak percaya penurunan hanya akan Rp69 triliun. Melesetnya akan cukup drastis [dari target]," ujar Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi kepada Bisnis, Senin (20/4/2020).
Sofjan berpendapat investasi dari lini usaha dengan peningkatan konsumsi seperti industri alat kesehatan dan tekstil pun tidak akan dilakukan dalam jumlah besar.
Menurutnya, sejumlah izin investasi baru yang bermunculan bukanlah dari rencana bisnis anyar melainkan datang dari usaha yang telah berjalan namun belum mengantongi izin.
Baca Juga
Sofjan memperkirakan bisnis dagang elektronik berpeluang tumbuh dalam kondisi ini seiring perubahan perilaku konsumen selama pemberlakuan pembatasan sosial. Sementara untuk sektor lainnya, dia mengaku sangsi akan prospek pada 2020 ini.
"Menurut saya kita bisa mencapai Rp600 triliun saja sudah bagus. Perkiraan saya turun bisa 20 persen tahun ini. Sektor apa yang bisa bertahan? Pertambangan menurun, pertanian juga karena dipengaruhi harga," lanjutnya.
Sofjan pun menyatakan bahwa dunia usaha saat ini cenderung menahan diri. Orientasi para pengusaha saat ini lebih diarahkan bagaimana bisnis dapat terus bergerak tanpa ada aksi pemutusan hubungan kerja alih-alih investasi.
"Kami saat ini lebih memilih untuk konsolidasi. Bagaimana mengatur agar bisnis tidak bangkrut, bagaimana agar pekerja tak mengalami pemutusan hubungan kerja. Itu yang kami lakukan sekarang. Kami dalam situasi bagaimana bertahan, bukan investasi. Realistis saja," tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengemukakan, adanya kenaikan realisasi investasi sebesar 8 persen dibandingkan kuartal I sebesar Rp210,7 triliun dan didominasi oleh penanaman modal dalam negeri (PMDN) menunjukkan adanya perbedaan kepercayaan investor.
Peningkatan investasi yang didominasi oleh sektor transportasi dan komunikasi dengan kontribusi mencapai 23,4 persen pun disebut Shinta turut didukung dengan perubahan perilaku masyarakat.
Mengacu pada dari survei yang dilakukan oleh Nielsen dan juga McKinsey, Shinta mengatakan terdapat perubahan arah konsumsi masyarakat yang beralih ke layanan digital.
"Kebijakan stay-at-home menjadi faktor menguatnya layanan in-home entertainment dan e-commerce dan menyebabkan permintaan atas industri komunikasi dan transportasi khususnya logistik meningkat," paparnya.
Di sisi lain, Shinta menilai terbatasnya konektivitas rantai pasok antara Indonesia dan negara lain bisa menjadi momentum pelaku usaha untuk meningkatkan investasinya di dalam negeri agar dapat menjaga ketahanan bahan baku.
Selain itu, peningkatan infrastruktur listrik dan konektivitas dalam negeri turut meningkatkan sebaran investasi yang tidak hanya di pulau Jawa, namun juga di luar Jawa, terutama di Indonesia bagian timur.
"Adanya pelarangan ekspor untuk meningkatkan hilirisasi industri yaitu nikel yang menjadi salah satu faktor meningkatnya PMDN Indonesia di bagian timur," kata Shinta.