Bisnis.com, JAKARTA — Sudah lebih dari sepekan DKI Jakarta menjalankan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Lantas, bagaimana evaluasi dan masukan dari dunia usaha terhadap kebijakan tersebut sejauh ini?
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional (Ikappi) Abdullah Mansuri menyatakan ada banyak hal yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan PSBB di Ibu Kota. Pasalnya, dia berpendapat kedisiplinan warga dalam mematuhi kebijakan tersebut masih di bawah ekspektasi.
“PSBB ini belum sesuai harapan. Banyak orang yang masih keluar dan berkegiatan di luar. Jadi, menurut saya, pelaksanaannya belum begitu efektif untuk dapat menahan penyebaran virus corona,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Sabtu (18/4/2020).
Abdullah mengungkapkan PSBB telah mengurangi omzet pasar tradisional di DKI Jakarta seiktar 35 persen—50 persen. Bagaimanapun, dia meyakini denyut dan geliat pasar rakyat tidak akan terputus selama pembatasan sosial, karena pasar merupakan simpul dari kegiatan ekonomi rakyat.
Khusus untuk di pasar tradisional, dia menyarankan agar pelaksanaan PSBB harus dibarengi dengan intensifikasi penyemprotan disinfektan, pemberian masker secara gratis terhadap pedagang kecil, serta penataan ulang zona lapak atau tempat berjualan agar tak menumpuk di satu titik.
Bagi daerah lain yang akan mengikuti PSBB seperti DKI, dia menyarankan agar pemerintah daerah tidak membatasi jam buka pasar tradisional. Sebab, hal itu akan memicu penumpukan kerumunan warga dan justru menjadi bumerang dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19.
Baca Juga
“Maka, kami minta kepada pemerintah daerah untuk membiarkan jam buka [pasar tradisional]. Tinggal antisipasi [penyebaran Covid-19] dilakukan melalui penyemprotan disinfektan dan menyediakan tempat cuci tangan atau hand sanitizer di bebarpa titik atau tiap kios. Selain itu, berikan edukasi terhadap pedagang dan mengatur ulang zona lapak. Itu jauh lebih penting daripada membatasi jam buka pasar.”
Lebih dari itu, dia berharap agar pemerintah turun tangan dalam memberikan bantuan modal bagi pedagang pasar tradisional agar dapat tetap memasok barang kebutuhan pokok masyarakat. Terlebih, lanjutnya, harga sebagian komoditas pangan saat ini sudah merangkak naik.
Di sisi lain, Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Eddy Susanto berpendapat secara umum implementasi PSBB di DKI sudah baik.
“Namun, tugas pemerintah sekarang adalah meningkatkan pengawasan untuk memastikan disiplin [dalam mematuhi kebijakan PSBB] ditegakkan untuk semua warga, karena efektivitas PSBB memerlukan partisipasi dari seluruh pihak,” jelasnya kepada Bisnis.com.
Bagaimanapun, dia tak memungkiri kebijakan PSBB sangat memengaruhi sektor bisnis restoran, khususnya untuk kategori tertentu yang hanya bisa melayani konsumen melalui pemesanan di platform daring.
Untuk itu, lanjutnya, pelaku usaha sektor ritel makanan dan minuman (mamin) sangat membutuhkan dukungan semua pihak terkait dengan dampak PSBB terhadap keuangan industri restoran agar pekerja di sektor tersebut dapat tetap dibayar.
“[Dukungan tersebut] misalnya diberikan dalam bentuk penundaan pajak restoran selama 6 bulan, juga sewa tempat, cicilan bank, dan sebagainya.”
Pada perkembangan lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey turut mengapresiasi penerapan PSBB oleh Pemprov DKI Jakarta maupun kabupaten/kota/provinsi lain yang baru atau berencana melaksanakananya.
Namun, dia mendesak agar pemerintah daerah benar-benar mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No.9/2020 sebagai rambu-rambu implementasi PSBB. Pasalnya, sejauh ini dia mengaku ada beberapa daerah yang tidak menjalankan sesuai pedoman PSBB.
“Perlu ada pemahaman yang sama [di semua daerah] supaya PSBB ini bisa maksimal dijalankan tidak hanya oleh masyarakat, tetapi juga pelaku usaha. PSBB seharusnya diterapkan sesuai dengan Permenkes No.9/2020 dan tidak dimodifikasi sesuai kearifan lokal,” tegasnya kepada Bisnis.com.
Dia mengaku mendapati sejumlah daerah yang memaksakan pembatasan jam buka bagi peritel modern pada saat PSBB. Faktanya, pembatasan jam buka toko ritel justru akan memicu rush buying atau kepanikan dan aksi borong masyarakat.
“Kami ini tidak hanya menjalankan usaha, tetapi berupaya maksimal untuk menyediakan kebutuhan masyarakat agar mereka tidak panik. Kalau jam buka toko ritel modern berbeda-beda [di setiap daerah yang melakukan PSBB], maka akan menimbulkan kepanikan. Kebutuhan masyarakat untuk barang keseharian kan bisa kapan saja, tidak bisa dibatasi jam.”
Menurut Roy, pemda sebaiknya tidak perlu khawatir karena anggota Aprindo dipastikan telah mengikuti pedoman pencegahan COVID-19 seperti pengecekan suhu, pembersihan troli dan tas belanja, disinfektan berkala, penyediaan pembersih tangan, dan pembatasan interaksi sosial di dalam toko.
“Orang ke ritel modern pasti niatnya bukan untuk nongkrong. Setelah belanja mereka akan pulang. Bahkan, di gerai hypermarket yang menyediakan tempat makan sudah kami tiadakan. Jadi tidak perlu dibatasi jam operasionalnya,” paparnya.
Terkait dengan kelancaran pasokan selama PSBB, Roy mengatakan peritel modern sudah mendapatkan kepastian dari Menteri Perdagangan agar para pemasok serta pelaku sektor transportasi dan logistik tetap maksimal melayani distribusi ke ritel modern.
“Bisnis ritel modern tidak bisa jalan sendiri, harus didukung oleh kantor pusat dan kantor cabangnya. Untuk itu, kami berharap bahwa penda mengerti bahwa selain ritel modern harus buka, sektor transportasi dan logistiknya jangan dihalang-halangi. Kantor pusat pun tetap diberi kewenangan untuk tetap buka selama PSBB.”
Lebih lanjut, dia mengklaim peritel modern juga sudah mengantisipasi jika implementasi PSBB harus diperpanjang. Menurutnya, peritel telah berkoordinasi dengan pelaku manufaktur agar kelancaran distribusi dan keamanan pasokan tetap terjaga.
Sebagaimana saran dari pengusaha sektor lainnya, jika PSBB harus diperpanjang, Roy berharap pemerintah pusat maupun daerah dapat memberikan stimulus baik berupa kelonggaran penundaan pembayaran pajak daerah, retribusi, maupun tarif listrik.
“Yang kami jaga adalah kemampuan kami untuk terus beroperasi. Itu harus didukung dengan cash flow yang baik. Jadi, kalau kami bisa mendapatkan pemotongan PPh atau pengunduran pembayaran pajak-pajak daerah, itu akan sangat membantu,” ungkapnya.
Sekadar catatan, PSBB yang diimplementasikan Ibu Kota sejak 10 April 2020 didasari oleh payung hukum Peraturan Pemerintah No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial. Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Peraturan Menteri Kesehatan No.9/2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19.
Menurut beleid tersebut, masa inkubasi untuk PSBB adalah selama 14 hari, tetapi dapat diperpanjang apabila dibutuhkan. Adapun, terdapat 8 sektor usaha yang mendapat pengecualian untuk dapat tetap beroperasi selama PSBB.
Sektor-sektor tersebut a.l. kesehatan; pangan, makanan, dan minuman; logistik dan distribusi barang; energi, air, gas, dan pompa bensin; sektor yang terkait dengan kebutuhan harian dan ritel seperti warung serta toko kelontong; komunikasi baik jasa maupun media; industri strategis di Ibu Kota; serta keuangan, perbankan, dan pasar modal.