Bisnis.com, JAKARTA - DPR bersama Tim Peneliti Djokosoetono Research Center Fakultas Hukum Universitas Indonesia melakukan public hearing revisi UU Pertambangan Mineral dan Batu bara nomer 4 tahun 2009.
Dalam dokumen yang diterima Bisnis, public hearing tersebut dilaksanakan pada Selasa 7 April 2020 pukul 10.00 yang dipimpin oleh Ketua Panja (Panitia Kerja) RUU minerba Komisi VII DPR RI Bambang Wuryanto.
Ketua Rapat Komisi VII DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan panja RUU Minerba menerima masukan dari tim kajian hukum dari Universitas Indonesia sebagai masukan dalam revisi atau perubahan UU nomer 4 tahun 2009 tentang pertambangan minerba.
Adapun terdapat 13 poin sebagai masukan dari tim hukum Universitas Indonesia yakni pertama adanya peningkatan nilai tambah dimana dengan kewajiban industri pertambangan untuk memiliki industri hilir atas produk tambang, maka peningkatan nilai tambah niscaya tercapai.
Namun, dengan industri hilir memiliki izin operasi relatif lebih lama, maka izin operasi produksi perusahaan hulu perlu juga disesuaikan tanpa harus adanya integrasi perusahaan hulu – hilir. Perhatian lebih besar lagi apabila perusahaan tersebut adalah BUMN.
Kedua, permasalahan antar sektor: dualisme dua pokok perizinan yakni IUP Operasi Produksi dengan Izin Usaha Industri harus diperjelas dan diberikan batasan yang tegas sehinga terdapat kepastian hukum untuk menarik investor.
"Standarisasai kelengkapan dokumen dan kemampuan dalam industri pertambangan juga perlu diperhatikan," ujar Bambang dalam dokumen public hearing RUU Minerba yang dikutip Bisnis, Rabu (8/4/2020).
Ketiga, penguatan konsep wilayah pertambangan yakni penjabaran definisi wilayah pertambangan yang pasti sehingga terdapat jaminan hukum yang jelas bagi kegiatan pertambangan. Adapun terdapat kategori wilayah kedaulatan dan hak berdaulat yang keduanya bisa dikatakan sebagai wilayah yuridiksi nasio al.
Keempat terkait kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) atau Perusahaan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Untuk memaksimalkan ruh penguasaan oleh negara kontrak/perjanjian yang sudah habis masanya akan kembali ke penguasaan negara dalam status WPN (Wilayah Pencadangan Negara) yang kemudian diterbitkan IUPK tanpa memperpanjang pemegang KK atau PKP2B generasi pertama.
Kelima terkait luas wilayah tambang dimana wacana konversi ke bentuk izin bagi pemegang PKP2B tanpa revisi luasan tidak sesuai dengan semangat penguatan BUMN sebagaimana salah satu pemaknaan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Luas wilayah perlu dilakukan pembatasan agar potensi sumber daya mineral tidak hanya dikuasai oleh sebagian kelompok saja.
Keenam yakni jangka waktu IUP/IUPK dimana dengan adanya batas pengelolaan usaha pertambangan maka kesempatan pengelolaan ini dapat dilakukan tidak hanya segelintir kelompok orang. Selain itu juga perlu perlu mengarahkan perhatian kepada BUMN yang memang secara konsitusi dimandatkan untuk mengelola sumber daya mineral dan batubara untuk kepentingan nasional.
Ketujuh yakni untuk memperkuat peran BUMN dan menjamin suplai domestik yang cukup, pemerintah mempunyai wewenang penuh untuk tidak memperpanjang KK dan PKP2B yang telah berakhir. Seluruh wilayah kerja (WK) tambang yang tadinya dikelola kontraktor harus dikembalikan kepada negara. Pengelolaan WPN hasil dari PKP2B yang kontraknya berakhir dapat dilakukan oleh BUMN khusus yang 100 persen sahamnya milik negara.
Kedelapan terkait tindak lanjut putusan MK atas UU No. 23 tahun 2014 Pembatasan kewenangan Pemerintah tingkat Kabupaten/Kota ke tingkat Provinsi perlu diimplementasi, tetapi Pemerintah Pusat juga tetap harus tegas dan patuh hukum dalam melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Gubernur nantinya.
Kesembilan terkait peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan kepada Pemda dimana dalam RUU ini konstruksi mengenai pembagian kewenangan terhadap pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan minerba oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi secara konkret terbagi atas kewenangan untuk mengeluarkan IUP, IUPK, dan IPR (Izin Pertambangan Rakyat) dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi.
Kesepuluh terkait rencana pengelolaan minerba nasional yakni perlu penegasan atas DMO (Domestic Market Obligantoon). Hal ini perlu menjadi perhatian karena idealnya hasil sumber daya alam bisa dinikmati secara maksimal di dalam negeri dan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Namun demikian, dalam waktu yang sama, perlu juga diperhatikan pengembangan energi selain fossil dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Kesebelas, data dan informasi di mana masyarakat memiliki hak untuk memperoleh data dan informasi terkait pertambangan secara akurat, mutakhir, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat.
Kedua belas, mendorong kegiatan eksplorasi untuk penemuan deposit batubara sehingga perlu diupayakan agar investor swasta dapat ikut melakukan eksplorasi untuk meningkatkan penemuan deposit tersebut.
Ketiga belas terkait Izin Usaha Pertambangan Rakyat karena karakternya yanh khusus, jenis penambangan ini sebaiknya diberi nama pertambangan skala kecil dan pengaturannya disesuaikan dengan karakteristik itu.
"Izin khusus izin pengusahaan batuan karena jangka waktu IUP OP yang pendek dan kebutuhan peningkatan produksi, perlu ada perpanjangan dan perluasan maksimal luas wilayah," tutur Bambang