Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Membedah Ketimpangan di Tengah Covid-19

Ketimpangan mempengaruhi kemampuan dan konsistensi masyarakat dalam melakukan upaya pencegahan Covid-19.
Warga beraktivitas di permukiman semi permanen di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Jakarta, Selasa (22/1/2019)./ANTARA-Aprillio Akbar
Warga beraktivitas di permukiman semi permanen di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Jakarta, Selasa (22/1/2019)./ANTARA-Aprillio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA - Masalah ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat Indonesia semakin terpampang jelas di tengah wabah virus Corona atau Covid-19.

Selama ini, isu ketimpangan cenderung kalah oleh isu-isu lain yang lebih populer, sebut saja pertumbuhan ekonomi dan insentif yang dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut.

Masyarakat yang tergolong kelas menengah dan memiliki tabungan yang cukup bisa saja tidak terganggu pengeluarannya akibat Covid-19. Kelompok ini bisa saja tidak terganggu penerimannya karena mayoritas sudah memiliki pekerjaan formal yang bisa dikerjakan dari rumah.

Kondisi yang berbeda muncul bagi mereka yang bekerja secara informal. Tidak ada pilihan lain bagi kelompok masyarakat ini, selain harus turun ke lapangan dan berisiko tertular Covid-19.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2019, tingkat ketimpangan pengeluaran atau gini ratio pengeluaran mencapai 0,38, lebih baik dibandingkan gini ratio pengeluaran per September tahun sebelumnya yang mencapai 0,384.

Tercatat ketimpangan di pedesaan cenderung membaik dimana per September 2019 berada di angka 0,315, lebih baik dibandingkan September tahun sebelumnya yang mecapai 0,319.

Sayangnya, beberapa waktu terakhir belum ada perbaikan atas ketimpangan di perkotaan. Per September 2019 tingkat ketimpangan berada di angka 0,391, tidak berubah dibandingkan September tahun sebelumya dan lebih buruk dibandingkan tingkat ketimpangan di perdesaan. 

Ketimpangan di Indonesia semakin nampak jika dilihat dari sisi kekayaan. Berdasarkan data Credit Suisse, angka rata-rata kekayaan orang Indonesia per orang dewasa pada 2019 mencapai US$10,545 per orang dewasa. Namun, angka median dari kekayaan per orang dewasa di Indonesia hanya US$1.977 per orang dewasa.

Credit Suisse mencatat terdapat 173 juta populasi orang dewasa di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 82 persen di antaranya hidup dengan kekayaan di bawah US$10.000, jauh di atas rata-rata global dimana orang dewasa yang hidup dengan kekayaan di bawah US$10.000 hanya 58 persen.

Jumlah orang kaya di Indonesia dengan kekayaan di atas US$100.000 hanya 1,1 persen, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 10,6 persen.

"Meskipun jumlah orang dewasa dengan pendapatan tinggi cenderung rendah, ketimpangan kekayaan di Indonesia jauh di atas rata-rata. Indonesia mengkombinasikan rata-rata kekayaan yang rendah dengan konsentrasi kekayaan yang tinggi," tulis Credit Suisse dalam laporannya.

Gini ratio kekayaan di Indonesia tercatat mencapai 83 persen dengan 1 persen kelompok terkaya di Indonesia memiliki akumulasi kekayaan hingga 45 persen, kedua angka tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata internasional.

Peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Sudirman Nasir menerangkan ketimpangan mempengaruhi kemampuan dan konsistensi masyarakat dalam melakukan upaya pencegahan Covid-19.

Gini ratio yang mencapai 0,38 tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas hidup sulit tercapai bila ketimpangan tidak diselesaikan.

Masyarakat dari kalangan yang lemah secara sosial dan ekonomi memiliki kemampuan yang rendah untuk melakukan pencegahan tersebut.

Wujud ketimpangan yang menghambat pencegahan Covid-19 sangat nampak pada kesenjangan akses air bersih dan kesenjangan yang timbul akibat dominasi sektor informal yang mencegah upaya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang baru diwacanakan oleh pemerintah.

Saat ini, hanya 76,07 persen masyarakat Indonesia yang memiliki akses terhadap air bersih. Lebih lanjut, penelitian Amtra Institute menunjukkan rumah tangga miskin di Jakarta, episentrum Covid-19, mengeluarkan biaya sebesar Rp360.000 per bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Hal ini menimbulkan beban dan kondisi tersebut membuat rumah tangga miskin rawan menderita berbagai penyakit, termasuk Covid-19.

Sudirman mengatakan kondisi ini mengkonfirmasi Riset Kesehatan Dasar Indonesia yang menemukan bahwa masyarakat kita mengalami beban ganda penyakit. Beban gada penyakit adalah situasi dimana ketika penyakit tidak menular semakin menonjol dan pada situasi yang sama penyakit menular juga masih besar.

"Pelajaran dari pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa kebijakan, investasi, dan program penyediaan dan peningkatan akses masyarakat pada air bersih dan pendidikan atau promosi kesehatan mengenai pentingnya tindakan pencegahan primer, seperti mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sangat strategis," kata Sudirman dalam komentarnya yang diterbitkan oleh CSIS, Jumat (3/4/2020).

Dari sisi lapangan kerja, sebanyak 57 persen penduduk Indonesia masih bekerja di sektor informal tanpa kepastian perlindungan dan pendapatan. Kelompok ini tidak mampu melakukan pematasan jarak karena pekerjaan mereka menuntut adanya kontak langsung dengan pelanggan.

Mereka juga tidak memiliki tabungan yang cukup untuk berdiam diri di rumah seperti yang dihimbau oleh pemerintah. "Banyak di antara mereka bekerja demi mencari penghasilan untuk makan dan minum pada hari itu," kata Sudirman.

Entah social distancing, physical distancing, PSBB, atau apapun namanya, pemerintah perlu menggelontorkan bantuan sosial (bansos) agar pekerja informal bisa melaksanakan hal tersebut. Jika tidak, masyarakat akan mencari bantuan secara informal dari kerabat di daerah asal.

"Mudiknya pekerja sektor informal ke berbagai daerah adalah bagian dari mekanisme bertahan kalangan rentan para pekerja di sektor informal ini," kata Sudirman.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan bahwa sejak awal Indonesia belum memiliki program jaminan sosia yang siap untuk menghadapi situasi saat ini.

Tambahan program keluarga harapan (PKH) dan kartu sembako yang hendak digulirkan pemerintah dalam tambahan anggaran sebesar Rp45.1 triliun masih belum cukup.

"Perlu ada universa basic income dimana jaminan sosial tidak hanya melindungi masyarakat miskin, tapi juga rentan miskin," kata Bhima.

Dalam kelompok ini antara lain pekerja informal dan pekerja yang rentan di-PHK akibat mewabahnya Covid-19. Dari Rp110 triliun tambahan anggaran pemerintah yang dialokasikan jaring pengaman sosial, masih terdapat Rp30,8 triliun yang hingga saat ini masih belum dialokasikan.

Dana tersebut masih akan dikoordinasikan dengan unit terkait sebagai antisipasi lanjutan dampak Covid-19. Entah kapan bantuan langsung tunai (BLT) yang akan disalurkan kepada pekerja informal bakal terealisasi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhamad Wildan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper