Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat properti menyatakan bahwa saat ini pengembang dihadapi masalah arus kas menyusul dampak virus corona jenis baru atau Covid-19 terhadap industri properti.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan bahwa masalah tersebut timbul karena saat ini suku bunga pinjaman masih tinggi di sejumlah perbankan.
"Masalah [yang besar adalah] bunga pinjaman, sekitar 10 persen hingga 11 persen dari nilai pinjaman. Meskipun BI rate [BI 7-Day Repo Rate] sudah turun, bunga pinjaman relatif belum juga turun," ujar Ali kepada Bisnis, Rabu (1/4/2020).
Dia menyatakan bahwa pebisnis properti mengapresiasi langkah pemerintah yang akan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada tahun pajak 2020 dan 2021, sedangkan 2022 tarif PPh badan akan menjadi 20 persen.
Langkah itu dinyatakan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Hanya saja, Ali menyatakan bahwa pemangkasan tersebut dinilai akan kecil dampaknya bagi pengembang properti. Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi catatan terkait dengan pengaturan arus kas perusahaan properti yang sebetulnya tidak terkait dengan pajak.
"Ini mengenai pinjaman ke bank yang harusnya mendapat perlakuan khusus mulai dari pengurangan bunga, penundaan, sampai hair cut [pengapustagihan kredit macet]," ujarnya.
Ali mengatakan bahwa kondisi saat ini membuat pemasukan pengembang terganggu karena lesunya penjualan properti. Namun, pengeluaran perusahaan terus berjalan. Apalagi, saat ini daya tahan arus kas para pengembang dinilai sangat pendek di tengah kondisi ketidapakstian ekonomi akibat Covid-19.
Berdasarkan temuannya, pengembang kelas menengah hanya mampu bertahan hingga 1 sampai 3 bulan ke depan, sedangkan pengembang kelas bawah lebih memprihatinkan yaitu hanya mampu hingga 1 bulan.
"Kalau jangka pendek cash out tidak bisa di-cut, akan banyak perusahaan yang kolaps," ujarnya.
Namun, patut disyukuri bahwa beberapa perbankan memang sudah merespons Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Sejumlah perbankan mulai menawarkan keringanan dengan pemberian restrukturisasi kredit terhadap perusahaan yang terdampak Covid-19. Stimulus ini diharapkan menjadi penopang pengembang properti agar terhindar dari kebangkrutan.
"Beberapa bank termasuk BTN sudah mulai buat kebijakan untuk hadapi situasi saat ini," kata Ali.