Bisnis.com, JAKARTA - Meski pemerintah telah mengumumkan bahwa defisit anggaran 2020 bakal mencapai 5,07% dari PDB, Kementerian Keuangan memproyeksikan defisit anggaran tahun ini bakal berkisar 4-5% PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerangkan defisit memang akan timbul karena turunnya pendapatan akibat insentif serta penurunan performa korporasi serta naiknya belanja.
Dari sisi perpajakan, dalam Perppu No. 1/2020 pemerintah merelaksasi tarif PPh Badan menjadi tinggal 22% pada 2020 dan akan ada pengurangan 3% bagi WP Badan yang sudah terdaftar di bursa efek yang 40% sahamnya dimiliki oleh publik.
Sebelum Perppu, pemerintah juga telah mengeluarkan inseitif untuk sektor manufaktur tertentu atas beberapa jenis pajak yakni PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, angsuran PPh Pasal 25, hingga restitusi PPN dipercepat.
Dari sisi belanja, ke depan akan sangat mungkin muncul belanja-belanja yang timbul untuk memenuhi kebutuhan penanganan Covid-19.
Defisit masih mungkin untuk mengecil karena ke depan bisa saja ada banyak belanja kementerian lembaga (K/L) yang tidak terealisasi karena K/L saat ini tidak mungkin untuk melakukan kegiata secara fisik.
Belanja non-K/L seperti belanja subsidi juga berpotensi turun karena konsumsi masyarakat atas BBM juga turun. Artinya, belanja yang tidak terserap ini bisa memperkecil defisit anggaran dari angka 5,07% PDB yang pernah diumumkan sebelumnya.
Setelah 2020, defisit akan terus ditekan di bawah defisit 2020 dan akan kembali di bawah 3% dari PDB pada 2023.
"Skenario ini mungkin kalau tidak ada krisis keuangan. Kalau terjadi, ini yang mengubah semua penghitungan dan ini yang kita upayakan tidak terjadi," ujar Sri Mulyani, Rabu (1/4/2020).