Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah sejatinya bisa menjadi momentum untuk meningkatkan nilai ekspor. Kendati demikian, hal ini diperkirakan bakal sulit terpacu di tengah banyak tekanan perdagangan global.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengemukakan ekspor berpotensi tak terpacu karena pasar Indonesia berada dalam tekanan dan terhambat kebijakan karantina di berbagai negara tujuan. Hal ini disebutnya bakal menghambat pasokan dan kelancaran ekspor nasional.
Di sisi lain, impor Indonesia pun disebut Shinta bakal tertekan karena pelaku usaha harus merogoh kocek lebih dalam ketika permintaan domestik pun berpotensi lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.
Namun Shinta meyakini bahwa kegiatan importasi bakal tetap berlangsung meski kebutuhan bahan baku industri manufaktur menjadi lebih mahal. Hal ini disebutnya dapat terjadi selama industri dan kegiatan ekonomi nasional tetap bergerak dan tak dibatasi sebagai respons terhadap wabah virus corona.
"Industri manufaktur akan tetap mengimpor bahan baku atau bahan penolong selama tetap diizinkan terus berproduksi. Aktivitas impornya kemungkinan besar akan turun secara signifikan tetapi tidak sebesar penurunan di bulan lalu karena China sudah normalisasi," kata Shinta kepada Bisnis, Kamis (19/3/2020).
Di tengah melemahnya nilai rupiah, Shinta menilai dampak stimulus fiskal maupun nonfiskal yang telah dikeluarkan pemerintah akan sangat tergantung pada waktu implementasi dan sampai kapan Covid-19 berkembang di Tanah Air.
Baca Juga
"Relaksasi impor belum terjadi secara signifikan karena kebijakan relaksasi dari Kemendag dan kementerian terkait memerlukan waktu untuk diimplementasikan," lanjutnya.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi mengatakan bahwa pelaku usaha importir bakal menjadi satu dari banyak pihak yang terimbas pelemahan rupiah. Stimulus yang diberikan pun menurutnya belum cukup untuk membendung efek dari hal ini.
"Pelaku usaha importasi sementara waktu hanya menjalankan transaksi yang sudah berjalan terikat kontrak dan pemesanan sebelumnya. Kalau yang baru, kami belum lakukan dan masih wait and see," ujar Subandi.
Dalam situasi seperti ini, dia mengatakan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penetapan batas tukar agar rupiah tak terus bergerak bagai bola panas.
Sementara itu, Shinta menyarankan agar pemerintah dapat melakukan intervensi moneter untuk stabilisasi nilai tukar. Di antaranya dengan mengatur jumlah uang yang beredar atau menambah cadangan devisa nasional.
"Ini mungkin tidak cukup untuk mengembalikan nilai tukar ke level asumsi di APBN, tetapi tetap harus dilakukan dan diusahakan agar bisa mendekati level tersebut sehingga industri tidak tertekan terlalu lama," papar Shinta.