Bisnis.com, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang menaikan tarif atau biaya jasa ojek online (ojol) karena dorongan massa.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi memberikan setidaknya 8 catatan terkait penaikan tarif ojol tersebut:
Pertama, pemerintah tidak mengambil kebijakan publik berdasarkan tekanan massa.
"Dari sisi kebijakan jangan sampai dilakukan hanya karena aksi demonstrasi, sebagai kebijakan publik itu tidak sehat kalau dilakukan karena adanya tekanan dari massa dan driver," jelasnya Selasa (10/3/2020).
Bahkan, Tulus meminta agar pengemudi ojol tidak mengerahkan massa dalam menekan pemerintah. Menurutnya, hal ini menjadi preseden buruk bagi penetapan kebijakan publik.
"Massa menekan pemerintah itu jadi preseden buruk, kebijakan publik harus berbasis karena kebutuhan," tegasnya.
Kedua, tingkat keselamatan sepeda motor paling rendah baik untuk pribadi apalagi 'angkutan umum'.
"Ini roda dua di manapun tempatnya tingkat keselamatan rendah. Sekalipun di industri otomotif tidak membuat untuk angkutan umum. Munculnya ojek onine itu kecelakaan sejarah karena terlambat merespons angkutan umum yang memadai dan manusiawi," kata Tulus.
Ketiga, moda tranportasi khususnya ojol skala pertama dan utama harus mengutamakan aspek keselamatan bagi driver dan penumpang. Kalau rendah harus ada kehati-hatian tinggi, sehingga tidak menjadi kecelakaan.
Berdasarkan data kecelakaan, Korlantas Polri mencatat 70 persen kecelakaan melibatkan sepeda motor dengan korban meninggal dunia hingga 30.000 orang per tahun, jumlah yang luar biasa besar jika dibandingkan dengan korban virus corona di seluruh dunia yang berkisar 8.000 jiwa.
Keempat, pelayanan harus menjadi perhatian, saat awal kemunculan ojol, pengemudi dibekali masker dan penutup kepala, saat ini fasiltias itu sudah tidak disediakan. Dia menuntut fasilitas tersebut kembali diberikan.
Kelima, pengaturan hubungan mitra dan aplikator dengan ketidaksesuaian supply da demand. Menurut Tulus, kurang adil kalau konsumen dibebani keluhan tersebut.
Keenam, mengenai ojol pada waktunya nanti harus diposisikan sebagai transportasi pengumpan.
"Kalau angkutan massal sudah siap, MRT, LRT, BRT dan segala macam sudah tersedia, ojol hanya pengumpang ke tranportasi massal," imbuhnya.
Ketujuh, dari sisi kelelamatan dan pelayan ojol perlu didorong salah satunya kualitas kendaraan dan pengemudi, termasuk dalam memberdayakan pengemudi difabel.
"Kedelapan, dari sisi asuransi harus dijamin dengan asuransi yang ada. Minimal Jasa Raharja itu setiap transaksi konsumen dengan angkutan umum harus dilindungi Jasa Raharja apalagi ojek online," terang Tulus.