Bisnis.com, JAKARTA - Jatuhnya harga minyak bisa memicu pelebaran defisit APBN di tengah kondisi Tanah Air yang membutuhkan dukungan fiskal dalam menopang pertumbuhan.
Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas mengungkapkan meskipun Indonesia merupakan net importir minyak, tetapi Indonesia masih mengekspor minyak mentah dan mendapatkan penerimaan fiskal yang lumayan besar dari kegiatan tersebut.
"Tahun ini, PNBP migas ditargetkan mencapai Rp127,3 triliun, melampaui target PPh migas yang mencapai Rp57,4 triliun," ungkap Satria, Senin (10/3/2020).
Berdasarkan perkiraaan Bahana, penurunan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) dari posisi asumsi APBN sebesar Us$63 per barel menjadi US$31, 5 per barel dapat dengan mudah menekan penerimaan negara hingga Rp73,88 triliun.
Adapun, pelebaran defisit fiskalnya bisa mencapai 0,60 persen hingga 0,65 persen terhadap PDB. Sementara itu, Kementerian Keuangan memperkirakan penurunan sebesar US$1 per barel dapat memperlebar defisit fiskal hingga Rp300 miliar sampai Rp500 miliar, mengingat penurunan harga minyak berpotensi menekan belanja, terutama belanja subsidi energi.
Meskipun demikian, dia membenarkan bahwa penurunan harga minyak dapat menjadi stimulus natural bagi ekonomi. "Kami melihat downside risk terhadap inflasi tahun ini dengan minyak sebagai kontributor terbesar dalam keranjang inflasi BPS [3,78 persen saat ini, dari 3,05 persen sebelumnya]," ujar Satria.
Baca Juga
Apakah penurunan harga dapat diartikan dengan penurunan harga BBM di dalam negeri?
Satria melihat penurunan BBM akan berdampak pada deflasi di komponen biaya transportasi. Kemungkinan perbedaan harga BBM jenis RON-88 atau Premium dan RON-92 atau Pertamax akan semakin tipis. "Ini akan mendorong masyarakat beralih dari BBM subsidi ke BBM nonsubsidi. Kesempatan bagi pemerintah untuk mengurangi pengunaan BBM subsidi secara bertahap," katanya.
Dia memperkirakan penurunan harga minyak juga akan berdampak bagi industri manufaktur lokal, terutama industri yang masih bergantung pada BBM.