Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Akan Atur Tata Niaga Nikel Domestik. Angin Segar Bagi Penambang?

Harga patokan mineral ini akan menjadi harga dasar jual beli nikel ore antara penambang dengan smelter.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel. /JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel. /JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian ESDM akan mengeluarkan beleid yang mengatur tata niaga nikel domestik pada akhir Maret ini.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan beleid yang berupa Keputusan Menteri (Kepmen) tersebut akan berisi tentang Harga Patokan Mineral (HPM) nikel domestik dan juga mengatur batas bawah dari HPM ini.

Beleid tersebut sebagai kepastian agar penambang maupun pengusaha smelter bisa mendapatkan harga yang layak, tidak lebih rendah dari perhitungan keekonomian Harga Pokok Produksi (HPP) nikel ore maupun smelter.

"Akhir Maret ini mudah-mudahan bisa keluar Kepmen tata niaga harga patokan mineral nikel domestik. Ini kebutuhan yang mendesak sebagai akomodir keinginan penambang dan juga membenahi tata kelola nikel," ujarnya, Jumat (28/2/2020).

Menurutnya, selama ini HPM telah diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomer 7 tahun 2017. Namun, HPM yang diatur dalam Permen tersebut sebagai pembayaran royalti.

Namun, nantinya HPM ini akan menjadi harga dasar jual beli nikel ore antara penambang dengan smelter. Pemerintah pun akan memberikan ruang atau batas bawah dari HPM yang ditentukan. Hal ini dilakukan karena ada fluktuasi harga nikel dunia pada London Metal Exchange (LME) maupun Shangai Metal Exchange (SME) sehingga dibutuhkan batasan bawah yang diperkirakan sekitar 3 persen dari HPM.

"Besaran buffer 3 persen ini masih dilakukan kajian. Kami lihat dalam 5 tahun terakhir fluktuasi harga nikel di LME itu sekitar 3 persen hingga 9 persen  ruang negosiasinya. Ini masih dikaji besarannya berapa dan tentu akan dicantumkan dalam Kepmen," katanya.

Saat ini, Kementerian ESDM tengah berkoordinasi dengan Kemenko Maritim dan Investasi dalam membahas aturan HPM nikel domestik. Pasalnya, para smelter memiliki izin usaha industri (IUI) yang merupakan kewenangan Kementerian Perindustrian.

Kementerian ESDM sendiri, lanjutnya, tak bisa mengatur Kementerian Perindustrian sehingga salah satu caranya terus berkoordinasi dengan Kemenko Maritim dan Investasi agar beleid ini dapat diberlakukan kepada smelter.

"Kami tunggu kajian dari Kemenko Maritim dan Investasi terkait batas bawah HPM ini. Kemenko Maritim dan Investasi juga take over agar aturan ini bisa berlaku buat smelter. Ini agar sama-sama tak merugikan antara smelter dan penambang. Karena kalau harga penambang terlalu tinggi, saya kira smelter akan kolaps," tuturnya.

Selain mengatur HPM, dalam Kepmen tersebut juga akan mengatur sanksi apabila tak diikuti baik penambang maupun smelter. Adapun sanksi berupa teguran 1, teguran 2, teguran 3 dan pencabutan izin.

"Kalaupun tak mengikuti floor price HPM, mereka juga sulit berjualan karena tak dikeluarkan LHV (Laporan Hasil Verifikasi) oleh surveyor," ucapnya.

Tak hanya itu, Kementerian ESDM berjanji akan hadir mengatur tata niaga nikel dengan menghadirkan wasit yang menjembatani antara surveyor smelter di pelabuhan bongkar dengan surveyor penambang di pelabuhan muat. Surveyor akan menjadi wasit merupakan surveyor yang ditunjuk pemerintah dan disepakati kedua belah pihak yakni perusahaan pelat merah atau BUMN.

"Nanti ada wasit surveyor yang ditunjuk pemerintah yakni BUMN," kata Yunus.

Apresiasi Penambang

Dalam kesempatan yang sama, Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menyambut baik rencana pemerintah untuk mengatur tata niaga nikel domestik.

"Kami sudah agak seneng. Jadi keputusan pemerintah akan mengakomodasi penambang nikel melalui regulasi tata niaga domestik terutama untuk harga nikel domestik akan mengikuti HPM," ujarnya.

HPM ditetapkan pemerintah setiap bulan dimana perhitungan internasional market price, ada faktor koreksi dan rumusannya.

"Cuma ada permintaan smelter minta koreksi sekitar 0,9. Ya okelah daripada harga saat ini," katanya.

Pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah yang akan ikut intervensi melalui pihak ketiga surveyor jika terjadi dispute surveyor Free on Board (FoB) dengan surveyor Cost, Insurance and Freight (CIF).

"Kami apresiasi hal ini terlebih regulasinya akan dievaluasi selama 6 bulan," ucapnya.

Dia menuturkan harga ore nikel di lapangan lebih rendah dari HPM dan Harga Pokok Penjualan (HPP). HPP bijih nikel berkisar di angka US$20,34 per metrik ton. Namun, untuk harga ore nikel kadar rendah di bawah 1,7 persen harga domestik bisa sangat rendah, yakni sekitar US$18 per metrik ton. Untuk kadar 1,8 persen saja, bijih nikel hanya dihargai sekitar US$20 per metrik ton.

Dia menuturkan apabila dilakukan perbandingan harga ekspor, lokal dan pajak dimana harga ekspor nikel berkadar 1,8 persen untuk Free on Board (FoB) sebesar US$60 per ton. Lalu para penambang dikenakan kewajiban HPM untuk nikel 1,8 persen sebesar US$30 per ton yang harus dilakukan sebelum kapal berlayar. Smelter, lanjutnya, menerima nikel berkadar 1,8 persen FoB sebesar US$18 per ton.

"Saat ini kontrak menggunakan Cost, Insurance and Freight (CIF). Pada Januari lalu kontrak CIF untuk nikel berkadar 1,8 persen di dua smelter raksasa sebesar US$26 per ton. US$26 per ton ini untuk bayar biaya tongkang, biaya surveyor, biaya muat, bongkar, habis juga. Gimana bisa penambang untung, yang ada rugi dan habis terus," tuturnya.

Tak hanya itu, smelter lokal saat ini hanya menyerap nikel berkadar 1,8 persen dan tak jarang nikel yang dikirim oleh para penambang kerap kali direject oleh smelter.

"99 persen nikel ore yang kami kirim ke smelter direject karena kadarnya di bawah 1,8 persen. Ada perbedaan surveyor, surveyor smelter tak menggunakan yang ditunjuk oleh pemerintah. Kalau kadar nikel yang kami kirim tak sesuai kami juga kena denda. Kami sering memberikan secara gratis nikel di bawah kadar kepada smelter karena untuk bawa balik lagi butuh biaya. Ketika ditanya kemana nikel dibawah 1,8 persen itu, mereka jawab sudah enggak ada atau habis dibakar," terang Meidy.

Menurutnya, smelter lokal bisa menyerap nikel berkadar 1,8 persen ke bawah. Namun, selama ini smelter lokal menentukan sejumlah spek sehingga hanya bisa menerima kadar 1,8 persen. Padahal, smelter di luar negeri banyak yang mau nikel ore berkadar 1,7 persen ke bawah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yanita Petriella
Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper