Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja sejumlah komoditas ekspor utama Indonesia diperkirakan masih akan bertenaga untuk ekspor pada tahun ini.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengemukakan sejumlah produk tersebut mencakup furnitur berbahan baku kayu, produk karet, dan produk tekstil.
Sementara produk andalan lain seperti produk elektronik dan komoditas pertanian seperti sawit, kakao, dan kopi berpotensi melemah karena perlambatan permintaan global dan pelemahan harga komoditas.
"Berapa produk yang cukup resilient ini dipacu terutama pada peningkatan produksinya. Selain itu mereka tidak terlalu bergantung dengan lingkungan global dan bisa dialihkan untuk diserap pasar domestik," ujar Fithra kepada Bisnis, Minggu (23/2/2020).
Dia pun menyebutkan produk dalam komoditas tersebut juga memiliki keunggulan komparatif jika dibandingkan dengan negara lain. Kendati demikian, Fithra memberi catatan pada tren meningkatnya pertumbuhan industri tekstil Vietnam yang disebutnya bisa mencapai dua kali pertumbuhan Indonesia.
"Secara umum kinerja ekspor kita bisa berkaca pada kinerja industri. Jika kinerja industri turun maka ekspor berpeluang turun karena kegiatan industri menciptakan siklus produksi yg nantinya bisa diekspor. Masalahnya saat ini kinerja industri terus turun dan untuk bouncing masih sulit," ujarnya.
Baca Juga
Dia menyarankan pemerintah untuk mulai meliberalisasi impor bahan baku tekstil. Menurutnya, kebijakan safeguard yang diberlakukan pada industri tekstil Tanah Air mengakibatkan daya saing produk Indonesia menurun.
"Menurut sejumlah penelitian empiris, pemberlakuan safeguard justru kontraproduktif. Jadi lebih baik diliberalisasi saja karena tidak terbukti juga ini bisa bangkit [dengan perlindungan]. Malah justru turun terus. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita mengurangi tarif impor untuk bahan baku tekstil agar bisa bersaing," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo meyakini ekspor produk karet Indonesia dapat membaik di tengah harapan pulihnya kegiatan manufaktur China dan prospek kesepakatan dagang antara Negeri Panda dan Amerika Serikat.
"Harga karet sempat membaik pertengahan Januari di tengah perundingan dagang China dan Amerika Serikat. Tapi kembali melemah setelah industri manufaktor China sempat berhenti beroperasi karena libur Imlek yang dilanjutkan wabah virus. Tapi kami melihat ada kegiatan produksi yang mulai pulih pekan lalu. Bagaimana pun China adalah pasar karet terbesar," kata Moenardji.
Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor karet dan produk turunannya pada 2019 tercatat turun 5,6 persen dari US$6,38 miliar pada 2018 menjadi US$6,02 miliar. Eskpor karet sempat mencapai nilai US$7,74 miliar pada 2017 dan tren pertumbuhan ekspor komoditas ini selama 2014-2018 berada di angka 0,56 persen.