Bisnis.com, JAKARTA - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai usulan pemerintah terkait penataan ruang dalam Rancangan Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak aplikatif dan tidak sejalan dengan semangat simplifikasi regulasi.
Menurut KPPOD, norma kesesuaian usaha dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) seperti yang diatur dalam UU Cipta Kerja masih belum dapat diaplikasikan secara jangka pendek.
Peneliti KPPOD Herman N. Suparman mengatakan hal tersebut masih tidak dimungkinkan karena mayoritas daerah di Indonesia masih belum memiliki RDTR.
Meski pendekatan perizinan berbasis risiko atau risk based approach (RBA) sudah diusung dalam UU Cipta Kerja, beleid ini masih tidak mengatur hubungan antara permohonan kesesuian tata ruang dengan RBA itu sendiri.
"Ketiadaan RDTR berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan sosial, sebab pusat hanya bersandar pada RTRW," kata Herman, Kamis (20/2/2020).
Beleid ini juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian kewenangan. Kondisi ini membuat rentang kendali pemerintah pusat atas pemerintah daerah semakin jauh.
Selain itu, UU Cipta Kerja dinilai memiliki klausul yang bertentangan dengan usaha pemerintah dalam melakukan simplifikasi regulasi melalui Omnibus Law.
Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah memasukkan klausul yang memungkinkan penyelesaian tumpang tindih rencana tataruang dengan kawasan hutan, izin, dan hak atas tanah melalui Perpres.
"Hal ini bertentangan dengan semangat Omnibus Law yang bertujuan untuk mengsinkronkan regulasi tata ruang," kata Herman.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga tidak lagi menjadi dasar penataan ruang dan hanya menjadi bahan pertimbangan atas penataan ruang.
Menurut Herman, hal ini pun berpotensi mengabaikan KLHS dan akan berdampak negatif pada lingkungan.