Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian mengkaji penurunan harga gas menggunakan metode pengurangan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) pada harga gas.
Skema tersebut akan memperhitungkan zonasi pabrikan dan tingkat efek berganda (multiplier effect) sektor yang akan menerima manfaat.
Kepala Sub-Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non-Pangan Direktorat Jendaeral Industri Agro Kementerian Perindustrian Lila Harsyah Bakhtiar menyatakan penurunan tarif gas akan bervariasi pada setiap sektor penerima manfaat. Menurutnya, angka US$6 per mmbtu akan dijadikan acuan lantaran nilai akhir tarif gas.
"Ongkos mengangkat [gas] dari bawah ke atas harus tetap diganti dan harus dikasih keuntungan. Jadi, spektrum pembahasan harus total. Masing-masing perusahaan [industri] akan dapat protokol [pengurangan tarif]yang sama, tapi setiap perusahaan output [pengurangan gasnya] beda," katanya, Rabu (19/2/2020).
Lila menyatakan perbedaan penurunan gas setiap sektor dan setiap pabrikan akan berbeda. Adapun, faktor yang menjadi penentu adalah efek berganda ke perekonomian dan lokasi pabrikan dari sumur gas.
Menurutnya, setiap asosiasi sektor manufaktur penerima manfaat telah mengetahui informasi tersebut. Selain itu, Lila mengatakan pihaknya sedang menggodok kriteria monitoring dan evaluasi terhadap pabrikan yang menerima diskon tarif gas tersebut.
Adapun, Lila menganjurkan beberapa kriteria seperti penurunan harga jual, peningkatan pembayaran pajak penghasilan, peningkatan pembayaran pajak penghasilan badan, dan percepatan strategi ekspansi pabrikan.
"Kalau ada kriteria yang lebih relevan dan lebih make sense dengan [karakteristik] bisnis Anda, sampaikan. Kami akan mencek sesuai dengan nature industrinya," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Produsen Oleochemichal (Apolin) Rapolo Hutabarat mengatakan penurunan tarif gas diharapkan merangsang pabrikan untuk mempercepat strategi investasinya. Namun demikian, dia belum dapat memperkirakan nilai investasi yang akan diserap industri oleokimia ketika penurunan tarif gas terjadi.
"Harapannya ada [percepatan investasi]. Kalau investasi terjadi, ada lapangan kerja, ada produksi, berarti penerimaan negara untuk penghasilan pribadi maupun perusahaan akan dinikmati negara," katanya.
Rapolo mendata tarif gas berkontribusi sekitar 30-35 persen pada produksi fatty alcohol dan turunannya, sedangkan produksi fatty acid di level 10-12 persen. Adapun, industri oleokimia akan menggunakan sekitar 11,9 juta-13,7 mmbtu gas per tahun.
Dengan kata lain, lanjutnya, penurunan tarif gas dapat membuat industri oleokimia menghemat biaya produksi sekitar US$47 juta-US$81 juta per tahun.
"Sudah 4 tahun [Peraturan Presiden No. 40/2016 terbit]. Jadi, kami berharap ini benar-benar dijalankan pemerintah."
Pada kesempatan yang berbeda, Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman Yustinus Gunawan mengaku belum menerima informasi skema diskon. Namun demikian, Yustinus menyatakan akan tetap mengapresiasi langkah pemerintah dalam penurunan tarif gas.
"Kami hargai keputusan pemerintah. [Tarif gas] turun itu berarti semangatnya berpihak pada industrialisasi. Selain hitungan ekonomi, ada hitungan mental dan semangat," katanya.