Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengkritisi peringkat kemudahaan berbisnis dalam hal mendapatkan pembiayaan dan penyelesaian ketidakmampuan debitur melunasi kewajiban atau resolving insolvency. Meskipun keduanya telah berada di bawah 100, tetapi tahun lalu dua elemen itu masing-masing peringkatnya bergeser dari 44 ke 48 dan 36 ke 38.
"Kok naik lagi ini yang berkaitan dengan kebangkrutan [resolving insolvency] ," kata Presiden Jokowi ketika membuka rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Terkait penyaluran kredit, Jokowi sebelumnya sempat berbicara mengenai rendahnya inklusi dan literasi keuangan Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Jokowi menilai saat ini kebiasaan masyarakat telah berubah seiring dengan perkembangan teknologi. Lembaga keuangan harus melihat hal tersebut dengan memfokuskan pada layanan digital berbasis internet.
Saat ini, kata Jokowi, kondisi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan finansial berbasis teknologi (tekfin). Dia mencatat outstanding pinjaman kredit tekfin Rp12,18 triliun atau naik 141 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) per November 2019
Lebih jauh, orang nomor satu di Indonesia ini juga melihat potensi pengembangan industri keuangan non-bank untuk memberikan pembiayaan yang cepat dan mudah.
Sementara itu, industri perbankan pada tahun lalu mencatat perlambatan pertumbuhan kredit yang signifikan. Per Desember 2019, otoritas mencatat fungsi intermediasi tumbuh 6,08 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Padahal pada tahun sebelumnya penyaluran dana perbankan kepada pihak ketiga tumbuh dua digit atau 11,82 persen yoy.
Baca Juga
Perlambatan pertumbuhan fungsi intermediasi juga diikuti kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Per Desember 2019, rasio NPL perbankan sebesar 2,77 persen atau naik 40 basis poin (bps) dibandingkan dengan tahun sebelumnya.